Di segmen harga murah, rumah makan, warung burjo atau angkringan berharga miring memang masih ada. Tapi, mereka kian terdesak oleh kedatangan warung makan modern dengan harga tak jauh beda dengan Jakarta atau kota-kota besar lainnya, ditambah dengan hadirnya mall baru di sejumlah tempat.
Nestapa warung "low budget" ini makin lengkap, karena mereka menjadi satu kelompok rentan akibat imbas pandemi. Daya beli masyarakat yang aslinya masih rendah, jadi semakin rendah karena pandemi memaksa semua untuk berhemat.
Melihat fenomena ini, sudah seharusnya semua pihak terkait mulai mengkaji ulang kalkulasi angka upah minimum, supaya bisa relevan dengan dinamika situasi yang ada.
Falsafah "nrimo ing pandum" (Jawa: menerima segala keadaan dengan ikhlas) memang baik, tapi bukan berarti boleh dijadikan pembenaran atas langgengnya sebuah ketimpangan, dan kealpaan dalam menyadari ketertinggalan dengan daerah lain, khususnya di tingkat nasional.
Ini penting untuk diperhatikan dalam jangka panjang. Supaya, masyarakat setempat tidak semakin terkikis dan tercerabut paksa dari akarnya.
Tanpa mereka, keindahan budaya dan pariwisata suatu daerah akan kehilangan "roh" nya, karena merekalah yang setia menjaga keaslian dan kelestariannya, tanpa memikirkan untung rugi, sebagai bagian dari proses merawat jati diri.
Romantis itu manis, tapi jangan lupa realistis, supaya nanti tidak meringis.