Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Secuil Idealisme, Separuh Mimpi

7 Februari 2021   17:55 Diperbarui: 7 Februari 2021   18:26 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Freepik.com)

Judul di atas mungkin terdengar membingungkan, tapi inilah pendapat saya soal "worklife balance". Topik ini belakangan banyak dibahas, dan menghasilkan berbagai perspektif.

Saya pun akhirnya tergoda untuk menuangkan ekspresi saya, tentang topik keriting satu ini. Tentu saja dengan perspektif sebagai seorang pekerja biasa.

Saya menyebut "worklife balance" sebagai secuil idealisme, karena ini memang "sesuatu yang idealnya seperti itu" secara sempurna.

Masalahnya, ada beragam perspektif tentangnya, yang membuat ini terlihat membingungkan. Ada yang porsi waktunya berbeda, ada juga yang pembagian jenis kegiatannya berbeda.

Dari segi waktu, ada yang menganggap, 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam untuk kegiatan lain itu ideal. Padahal, banyak orang yang punya jam kerja lebih dari itu. Ada yang 9 jam, 12 jam, bahkan lebih.

Itu belum termasuk jika ada "tugas darurat" mendadak di luar jam kerja. Sebagai seorang pekerja, saya berprinsip hanya akan menerima ini jika belum terlalu malam, atau dibawah pukul 9 malam. Dengan catatan, ini benar-benar sangat darurat.

Penyebabnya bukan karena saya malas, tapi karena saya harus menjaga kondisi kesehatan. Terlalu sering mengerjakan hal-hal teknis diluar jam kerja sama dengan menabung penyakit.

Ini menjadi satu hal yang sangat saya perhatikan, selain karena saya pernah beberapa kali ambruk karena kelelahan, orang tua dan kerabat banyak mewanti-wanti agar saya perhatian betul.

Dalam beberapa kesempatan, saya mendengar cerita pengalaman mereka tentang kasus kematian mendadak di tempat kerja mereka dulu, akibat serangan jantung karena terlalu lelah bekerja.

Tentunya, ini jadi satu hal yang sangat saya perhatikan. Apalagi, saya pernah terkena demam berdarah dan tekanan darah rendah.

Tak ada gunanya saya berkorban terlalu banyak, jika pada akhirnya saya hanya dibuang setelah dianggap "tak berguna lagi". Toh jika saya tak bisa "digunakan" lagi, perusahaan bisa langsung mencari penggantinya. Beres.

Di luar faktor fisik, faktor mental juga sangat saya perhatikan. Bekerja memang satu kodrat seorang manusia, tapi ada kalanya ia harus beristirahat.

Dalam artian, ada hari libur, untuk seseorang bisa "mengisi baterai" sejenak, sebelum kembali bekerja. Baterai ponsel saja diisi ulang saat low battery, begitupun manusia saat lelah secara psikis.

Inilah mengapa, batasan jam kerja diatur, dan selalu ada libur akhir pekan, atau libur nasional. Begitu juga dengan hak cuti pada saat tertentu, misalnya saat menikah, atau hari raya keagamaan, seperti yang diatur dalam undang-undang.

Meski begitu, hal prinsipal seperti ini kadang hanya menjadi separuh mimpi, alias "antara ada dan tiada". Pada perusahaan yang punya kesepakatan kerja hitam di atas putih saja, ini kadang bisa dilanggar dengan enaknya.

Jadi, jangan tanya bagaimana ruwetnya masalah ini, pada perusahaan atau badan usaha yang tak menerbitkan kesepakatan kerja hitam di atas putih.

Memang, untuk saat ini, pandemi sukses memaksa hampir semua perusahaan atau badan usaha melakukan penyesuaian jam dan jadwal kerja. Masalahnya, bagaimana jika situasi sudah kembali normal?

Inilah PR besar pemerintah dan semua pihak terkait, yang perlu diperhatikan dan dipersiapkan dengan cermat. Jangan sampai, saat semua sudah kembali normal, pekerja kembali diperas habis tenaga dan pikirannya seperti kain pel, sementara sang pimpinan bisa berleha-leha dengan enaknya.

Pada akhirnya, "work life balance" bukan hanya soal pembagian porsi waktu hidup sehari-hari. Ini soal apakah seorang yang bekerja punya ruang gerak cukup, untuk kehidupan pribadi dan pengembangan diri di sela-sela kesibukan bekerja.

Jadi, saat nanti masa pensiun tiba, ia bisa tetap berdaya, dan tak sampai menderita akibat merasa diri tak berguna, atau terkena "post power syndrom", setelah tak lagi dipekerjakan pasca-purnatugas.

Ini penting, karena pekerjaan sejatinya adalah sarana pemberdayaan, yang seharusnya bisa lebih "memanusiakan", bukan memperbudak. Lagipula, pekerja juga manusia, yang punya kehidupan pribadi dan minat bakat sendiri-sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun