Disebut demikian, karena seorang senior harus bisa bertanggung jawab kepada juniornya, misalnya dengan memberi kesan positif, memberi contoh baik, syukur-syukur bisa jadi sosok panutan.
Ini penting, karena seiring berjalannya waktu, seorang mahasiswa senior akan dilihat lagi dari progresnya. Menjadi senior jelas menjadi satu "aib", jika argo semester sudah mencapai dua digit, tapi masih betah "pendalaman materi" di mata kuliah dasar.
Jika pertanyaan yang terlontar masih "semester berapa?" atau "angkatan berapa", jawaban "semester atas" atau "angkatan atas" masih bisa diandalkan, tapi, waktu sudah membuat ruang untuk "ngeles" makin sempit.
Status "senior" mulai jadi penderitaan, jika pertanyaan "kapan lulus?" mulai menyerang, karena akan menimbulkan galau berkepanjangan. Apalagi, jika sudah mendapati, satu persatu rekan seangkatan bahkan junior, naik ke panggung wisuda mendapatkan ijazah, mendapat pekerjaan, atau naik panggung pelaminan setelah resmi mendapat "ijab sah".
Lagipula, apa bagusnya jadi senior, jika hanya jadi sasaran empuk dosen? Bukannya mendapat respek, yang ada malah jadi bahan tertawaan.
Jika akhirnya lulus pun, punya banyak kenalan senior juga tak sepenuhnya bisa diandalkan. Mereka yang sudah lebih dulu meniti karier, akan lebih memilih bermain aman, supaya bisa selamat.
Membantu junior? Nanti dulu.
Jadi, senioritas di kampus hanyalah satu omong kosong, terutama jika tak ada saling respek di dalamnya. Senioritas hanya akan jadi bumerang, jika waktu yang sudah ditempuh, tak seiring sejalan dengan peningkatan kualitas.
Padahal, seorang senior seharusnya menjadi seperti padi, makin tua makin berisi, supaya pada saatnya nanti bisa dipanen, dan memberi tempat untuk bertumbuh bagi generasi selanjutnya, bukan malah menjadi gulma yang terpaksa di-DO karena terlalu nyaman menjadi seorang "senior".