Mereka baru akan merasa pening, saat semua harus dikerjakan sendiri. Tak ada lagi yang bisa dikambinghitamkan. Saat semua sudah tak tertolong lagi, tak menutup kemungkinan, tanggungjawab yang masih tersisa akan hilang bersama usaha rintisan yang sudah karam diamuk badai krisis.
Kisah di atas, adalah satu fenomena di dunia usaha rintisan, yang kebetulan menyimpang. Fenomena ini kebetulan tersingkap satu persatu, menyusul imbas pandemi Covid-19, sekaligus menunjukkan sisi muram usaha rintisan.
Entah kebetulan atau tidak, pandemi Covid-19 turut membantu "seleksi alam" usaha rintisan di Indonesia, terutama yang sudah salah urus atau "menyimpang" sejak awal.
Memang, masih ada banyak usaha rintisan yang baik di Indonesia, dan tak menjadikan "usaha rintisan" sebagai alasan untuk "membenarkan" semua kesalahan. Tapi, ini perlu diperhatikan lebih lanjut oleh semua pihak terkait.
Benar, usaha rintisan bisa menyerap banyak tenaga kerja, dan banyak berkontribusi terhadap perekonomian makro. Masalahnya, jika usaha rintisan ini sudah menyimpang sejak awal (dan jumlahnya banyak), mereka hanya akan menambah beban perekonomian nasional.
Jelas, tingginya angka PHK dan penutupan usaha rintisan adalah satu indikator kurang baik. Selain menambah angka pengangguran, ini justru akan mengganggu iklim investasi, apalagi di masa sulit seperti sekarang.
Menariknya, fenomena ini menunjukkan, satu hal yang perlu dilihat dari usaha rintisan adalah kualitas, bukan kuantitas. Lebih baik sedikit tapi semuanya mampu terus berkembang dengan baik dan memberi manfaat secara luas, daripada banyak, tapi semuanya salah urus dan kolaps.Â