Jelang diberlakukannya kebijakan "New Normal" pada awal bulan Juni mendatang, ada satu isu yang belakangan mencuat di media sosial. Isu itu adalah, kebijakan membuka tempat umum seperti mall, dan tempat kegiatan ekonomi lainnya, yang diikuti dengan tanda tanya soal status tempat ibadah, apakah ikut dibuka juga atau tidak.
Seperti biasa, isu semacam ini menjadi satu topik "seksi" yang bisa saja digoreng pihak tertentu, apapun agenda mereka. Hal ini sedikit banyak menggoda saya untuk sedikit berefleksi, dalam posisi saya sebagai seorang warga gereja, yang secara persentase tergolong kelompok "minoritas" di negeri ini.
Sekilas, korelasi antara dua hal dalam isu ini cukup menarik diperdebatkan. Hal pertama berkaitan dengan isu duniawi, sementara yang kedua berkaitan dengan isu sorgawi.
Pertanyaan yang muncul pun cukup menantang: "Kalau mall dan tempat umum boleh dibuka, kenapa tempat ibadah tidak?"
Jujur saja, isu semacam ini sama sekali tidak layak diperdebatkan, karena memang sama sekali berbeda. Yang satu berhubungan dengan hal material, sosial, dan kebutuhan ekonomi. Otomatis, ini berkaitan erat dengan urusan perut alias jasmani, dan kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
Satu hal lainnya, erat berkaitan dengan hal spiritual. Jadi, ini lebih berkaitan dengan urusan batin, antara manusia dengan Sang Pencipta.
Mengingat posisinya, tidak seharusnya ini ditampilkan secara terang-terangan, karena ini merupakan ranah pribadi tiap orang. Bukankah setiap orang ingin privasinya dihargai?
Sebagai seorang warga gereja, saya sendiri sudah cukup sering melihat berita tentang izin mendirikan rumah ibadah yang kadang dipersulit, persekusi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, sampai penutupan rumah ibadah. Meski kurang enak didengar, kejadian semacam ini nyatanya masih menjadi satu masalah yang belum kunjung beres sepenuhnya di negeri kita.
Berangkat dari situlah, saya melihat, meski penting, beribadah di rumah ibadah bukan hal paling fundamental, dalam posisinya sebagai ranah spiritual. Jika itu dikorelasikan secara "apple to apple" dengan urusan jasmaniah dan sosial, tentu itu akan membingungkan, karena yang satu sifatnya "hubungan horizontal" dengan sesama, sementara yang lain sifatnya "hubungan vertikal" dengan Yang Di Atas.
Jadi, isu yang mempertanyakan soal pembukaan kembali rumah ibadah, sejatinya tak perlu ditanggapi berlebihan. Apalagi, dalam situasi seperti sekarang, dimana pandemi COVID-19 belum sepenuhnya reda.
Percuma rumah ibadah dibuka, jika tak ada protokol kesehatan memadai didalamnya. Daripada meributkan hal privat semacam ini, sebaiknya kita fokus dulu menjalankan protokol yang berlaku, sambil memastikan keselamatan bersama tetap terjamin.