Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Datang, Paskah Sunyi!

12 April 2020   02:41 Diperbarui: 12 April 2020   03:56 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Tribunnews.com)

Bicara soal Paskah, tentu tak lepas dari rangkaian perayaan gerejawi, ruang ibadah yang selalu penuh sesak, bahkan kekurangan tempat, dan segala hingar-bingar yang mewarnainya.

Paskah, seperti halnya Natal, kadang juga menjadi ajang aktualisasi diri bagi sebagian umat Kristiani. Bahkan, ada juga orang yang mengkhususkan diri datang di semua rangkaian perayaan, mulai dari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, sampai Minggu Paskah. Selebihnya, mereka "menghilang" dan baru muncul lagi saat hari raya Natal tiba.

Banyak dari mereka yang berusaha tampil maksimal, hanya untuk mendapatkan pujian dari orang-orang di gereja. Ada juga yang menampilkan euforia luar biasa, misalnya dengan bersikap seemosional mungkin, saat pentas teatrikal kisah penyaliban Yesus. Benar-benar sebuah potret totalitas khas hari raya.

Di era kekinian, banyak juga orang yang tanpa sungkan update status atau foto di media sosial saat sedang beribadah. Tanpa disadari, semua fenomena ini justru lebih menampilkan "keakuan" manusia, sebagai sorotan utama dari hari raya Paskah.

Padahal, rangkaian perayaan Paskah, selalu berbicara tentang kerelaan Yesus menanggalkan ke-Aku-annya sebagai Tuhan, demi menebus dosa manusia. Ia rela memikul salib, menderita sedemikian rupa, dan mati di kayu salib, untuk kemudian bangkit dari kematian di hari Minggu Paskah. Sebuah teladan adiluhung.

Jelas, Paskah selalu meletakkan Yesus sebagai sorotan utama, karena ini adalah rangkaian karya kasih Allah di dunia. Sayang, keakuan manusia, terutama yang hasrat aktualisasi dirinya masih kelewat tinggi, sering membuat makna Paskah sering terpinggirkan, bahkan kadang terlupakan.

Tapi, "fenomena rutin tahunan" ini dipastikan "libur" sejenak untuk Paskah edisi tahun 2020, akibat imbas pandemi COVID-19. Tak ada ibadah di gereja, tak ada pentas teatrikal, tak ada euforia atau hingar-bingar. Umat Kristiani sama-sama merayakan Paskah, di rumah masing-masing, sesuai himbauan pemerintah. Jadi, layak jika kita menyebutnya sebagai "Paskah Sunyi".

Ini jelas menjadi momen Paskah yang "lain dari yang lain", karena pandemi COVID-19 memang merupakan satu "peristiwa luar biasa". Dari luar, merayakan Paskah dalam sunyi dan keprihatinan jelas bertentangan dengan label "hari raya" yang tersemat padanya.

Tapi, jika dilihat dari posisinya sebagai sebuah "momen spiritual", situasi prihatin saat ini justru menjadi satu kesempatan baik, untuk melihat kembali makna Paskah, yang selama ini sering terpinggirkan oleh ego aktualisasi diri dan keakuan manusia.

Malah, momen prihatin di Paskah tahun ini, sedikit banyak akan "memaksa" kita untuk fokus sepenuhnya pada posisi Paskah sebagai "momen spiritual".

Di sini, kita tak perlu repot-repot berpikir soal "apa kata orang" soal penampilan luar, atau seberapa penting identitas keagamaan di hari raya. Kita hanya perlu menjadi kita apa adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun