Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Saya Menikmati WFH

21 Maret 2020   15:02 Diperbarui: 21 Maret 2020   16:34 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Okezone.com

Dalam sepekan terakhir berbagai instansi pemerintah maupun swasta di seantero negeri, kompak menerapkan kebijakan "Work From Home" alias WFH. Kebijakan ini diambil, menyusul instruksi Presiden Joko Widodo, terkait langkah preventif untuk mencegah penularan virus Corona 19 (COVID-19), yang belakangan menjadi pandemi.

Seperti diketahui, virus penyakit yang awalnya mewabah di Wuhan, Tiongkok, kini telah menyebar ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Meski COVID-19 tergolong bisa disembuhkan, banyaknya jumlah penderita, termasuk korban meninggal, yang sudah mencapai ribuan (di seluruh dunia), memaksa banyak instansi di berbagai bidang melakukan kebijakan WFH. Kebetulan, kebijakan WFH turut diterapkan kantor tempat saya saat ini bekerja di Jakarta.

Pada prinsipnya, saya termasuk orang berpola pikir "klasik", khususnya jika berkaitan dengan waktu dan tempat kerja. Dimana, saya akan berangkat dan mengerjakan semua urusan pekerjaan di tempat kerja pada jam kerja. Di luar itu, saya akan fokus mengurus hal lain, termasuk urusan pribadi, supaya semua tetap seimbang.

Kalaupun ada alasan yang saya toleransi, jika terpaksa harus WFH, alasan tersebut biasanya berkaitan dengan kondisi fisik (jika sedang sakit atau kurang fit), keadaan darurat (seperti saat Pilpres 2019 dan masalah COVID-19 tahun ini), atau mengurus pekerjaan yang memang butuh konsentrasi lebih.

Sebagai seorang introvert, saya memang cukup menikmati suasana tenang. Saya sendiri juga termasuk tipe "anak rumahan". Jadi, selama situasinya kondusif, dan waktunya masih bisa diatur, WFH bukan masalah besar, apalagi dianggap sebagai "penjara".

Kalaupun ada gangguan akhir-akhir ini, gangguan itu lebih banyak datang dari luar, umumnya karena ada kekhawatiran berlebih, akibat kurang cermat dalam memilah informasi valid terkait COVID-19. Apalagi, kebanyakan media kita lebih banyak memakai perspektif "khawatir", "panik", atau sejenisnya, dalam pemberitaan terkait COVID-19. Padahal, kita semua tahu, cara pandang "negatif" yang berlebihan, khususnya dalam situasi seperti ini, justru bisa memperburuk keadaan.

Sebagai contoh, belum lama ini, orang tua saya sempat meminta saya untuk segera pulang ke rumah di Yogyakarta, jika memungkinkan. Penyebabnya, selain karena khawatir, banyak muncul berita dari pernyataan gubernur DKI Jakarta, yang seolah menyiratkan kondisi Jakarta sudah cukup "gawat".

Tapi, saya dengan tegas menolak, karena jika itu saya lakukan, situasi akan semakin rumit. Biaya yang harus dikeluarkan akan semakin banyak, sementara semua serba tak pasti. Saya sendiri berprinsip, selama Presiden atau Menteri terkait belum menyatakan negara dalam "keadaan bahaya", semua masih baik-baik saja. Jadi, untuk saat ini, pulang ke Yogyakarta bukan keputusan bijak.

Lagipula, saya tidak mungkin mempercayai mentah-mentah semua informasi yang berseliweran, di tengah suasana panik seperti sekarang. Bisa saja, itu hanya hoax. Kalaupun pernyataan itu datang langsung dari sang gubernur, pernyataan itu tidak punya keabsahan cukup kuat, karena tidak bisa digeneralisasi secara nasional. Ingat, gubernur DKI adalah bawahan Mendagri, dan atasan Mendagri adalah Presiden.

Di sisi lain, momen WFH memberi saya waktu untuk "menyepi di tengah keramaian" sejenak, tanpa lupa untuk berusaha tetap fokus pada pekerjaan yang harus dilakukan. Lucunya, secara kebetulan, momen ini juga mengajak saya untuk "kilas balik sejenak" ke masa lalu, tepatnya saat saya masih kelas empat SD, antara tahun 2002-2003.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun