Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tiga Ruang

25 Desember 2019   15:12 Diperbarui: 25 Desember 2019   15:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu: Aku

"Jangan sampai kamu tidak menikah."

Itulah pesan dari Opa, saat kami berjalan kaki sepulang dari gereja, tujuh tahun lalu. Di hari Minggu yang cerah itu, seperti biasa kami beribadah di gereja, dan pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Seperti biasa juga, kami menempuh perjalanan pulang berjarak kurang lebih satu kilometer itu dengan santai. Saking santainya, kami biasa mengobrol tentang banyak hal, dari lelucon sampai serius.

Tapi, selama aku mengenal Opa, baru kali ini ia memberi pesan seserius itu. Pesan itu menjadi sebuah kesimpulan akhir, dari cerita kilas balik Opa, tentang pernikahan orangtuaku dulu. Memang, Opa adalah orang yang sangat kalem, cenderung pendiam malah. Ia hanya akan bicara banyak kepada orang tertentu, aku salah satunya.

Aku sendiri bisa memahami, kenapa Opa mendadak berkata begitu. Saat itu, aku memang terlihat sangat santai, belum berpikir sampai ke sana. Padahal, usiaku akan genap kepala dua dalam beberapa bulan lagi. Pada saat bersamaan, teman-teman sebayaku banyak yang sudah gonta-ganti pasangan, bahkan ada juga yang sudah menimang bayi.

Sebenarnya, apa yang kebanyakan orang lihat dari luar, sangat berbeda dengan apa yang sedang kurasakan. Saat itu, aku memang sudah menapaki tahun ketujuh tinggal di Kota Klasik, menjalani masa remaja, dengan berjuta warna dan rasa. Ada naik-turun, ada susah-senang, semua terlihat begitu lengkap.

Satu-satunya sisi muram di masa terindah itu hanyalah, ada luka demi luka yang datang silih berganti, karena kekurangan sejak lahir di tubuhku. Rundungan demi rundungan datang, dari segelintir orang yang menganggapnya sebagai sebuah kesenangan.

Mereka memang hanya segelintir oknum dari keseluruhan. Masalahnya, aku menghadapi nyaris semua itu sendirian. Bantuan baru datang, saat aku mulai ambyar luar-dalam.

Dari luar, tubuhku akhirnya tumbang, akibat menerima sebuah "candaan", yang memaksa kesadaranku pergi sejenak. Aku ingat, sebelum akhirnya tumbang di ambang pintu rumah, aku mati-matian menjaga kesadaran ini, layaknya menjaga nyala lilin di tengah tiupan angin kencang. Itu kulakukan, hanya demi sampai di rumah dengan selamat.

Setelahnya, aku sempat merasakan, leherku seperti dicekik tangan raksasa.  Ini membuat bernafas terasa sulit. Beruntung, penderitaan di tubuh rapuh ini bisa berakhir, tepat setelah senja menyapa. Andai pertolongan itu datang terlambat, mungkin hari ini aku hanya tinggal nama.

Dari dalam, hatiku terasa seperti diguncang gempa dahsyat dan gelombang tsunami, akibat gagal lolos seleksi masuk SMA favorit incaranku. Penolakan karena alasan fisik, plus isu tak sedap turut mewarnai. Kabarnya, ada yang bersedia membayar lebih untuk bisa diterima.

Terlepas itu benar atau tidak, aku sudah terlanjur muak. Setelah adaptasi susah payah dan berusaha keras, semua yang aku lakukan hanya dibuang ke tempat sampah. Apa gunanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun