Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melihat Kembali Sebuah "Kedekatan"

21 September 2019   14:53 Diperbarui: 22 September 2019   01:45 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Audrey Hepburn/weheartit.com

Sebelum kita melangkah lebih jauh, untuk mencegah salah paham di kemudian hari, izinkan saya untuk sedikit menjelaskan, bahwa tulisan ini merupakan hasil refleksi dari pengalaman pribadi, bukan untuk digeneralisasi secara luas.

Bicara soal "kedekatan" dalam sebuah hubungan, baik di lingkup keluarga, pertemanan, atau yang lainnya, sebuah "kedekatan" sering kali hanya dilihat dari luar. 

Semakin banyak informasi pribadi yang didapat, kadang seseorang bisa dengan gampang menyebut dirinya "dekat" dengan orang tersebut.

Padahal, kita melihat ada begitu banyak "public figure" yang punya jutaan penggemar fanatik, mereka bisa dipastikan hapal betul dengan setiap hal tentang sang idola. Tapi, apakah si "public figure" juga bisa menghapal setiap hal tentang penggemarnya? Jelas tidak.

Hal serupa juga terjadi di hubungan keluarga dan pertemanan. Banyak orang menganggap, semakin banyak informasi personal yang dimiliki, semakin dekat hubungan mereka dengan "keluarga" atau "teman" tersebut.

Tak heran, banyak orang tanpa sungkan menanyakan begitu banyak informasi pribadi, dengan alasan supaya lebih dekat. Akibatnya, waktu ngobrol yang semestinya menyenangkan berubah total, karena obrolan yang semestinya bersifat dua arah hanya menjadi satu arah, dengan suasana lebih intens dari interogasi seorang koruptor oleh pihak berwajib.

Cara pandang ini jelas salah, karena justru menginjak-injak privasi. Jika ini adalah interogasi koruptor oleh pihak berwajib, memang sudah sepantasnya begitu, karena menyangkut kemaslahatan bersama.

Tapi, jika ini untuk membangun "kedekatan" hubungan keluarga dan pertemanan, apa perlunya? Kalau memang mereka ingin berteman dekat, atau mengakrabkan diri dengan kerabat, tapi masih memakai cara "interogasi" seperti ini, kita perlu mempertanyakan, apa hubungan yang coba dibangun ini masih murni atau sudah tercemar maksud lain, entah apa wujudnya.

Karena, kedekatan yang murni selalu berasal dari hati. Tanpa perlu di "interogasi", seseorang akan mau berbicara terbuka dalam segala hal kepada orang yang dia anggap sudah memberi rasa nyaman. Saat ia diminta untuk ganti mendengarkan pun, ia akan melakukan dan menyimpan semuanya dengan senang hati.

Selain itu, mereka yang benar-benar dekat secara personal tahu betul, ada batasan yang harus tetap dihormati. Mereka akan saling menghormati kehidupan pribadi masing-masing secara otomatis, dan tak pernah menuntut untuk "selalu ada kapanpun tiap dibutuhkan". Karena, teman atau kerabat bukan jin lampu gosok atau Unit Gawat Darurat.

Dalam konteks sosial pun, sebuah kedekatan tak mengenal perbedaan luar. Tak ada yang merasa berderajat lebih tinggi dari yang lain, sekalipun ia memang berada di posisi itu.

Sebaliknya, yang posisinya lebih rendah pun tak akan minder, apalagi sampai menjilat secara berlebihan, karena kedekatan yang ada memang murni, tanpa melihat atribut apapun. Apapun kondisi dan perbedaannya, semua tetap baik-baik saja.

Tapi, jika dasar dari kedekatan itu sudah menyimpang, ada sekat pembatas yang tercipta. Mereka yang merasa berderajat lebih tinggi (walau kenyataannya tidak) akan terlihat angkuh, dan menjaga jarak dengan yang lain, sambil berusaha saling mencari celah, untuk menjatuhkan atau bergunjing satu sama lain. 

Satu-satunya perekat hubungan hanya kepentingan dan kebutuhan sampai semua beres sesuai rencana. Sekali berarti sudah itu mati.

Selama berasal dari hati dan murni, "kedekatan" dalam sebuah hubungan personal akan membawa manusia ke arah positif, karena ia benar-benar melihat manusia sebagai manusia, lengkap dengan segala hal yang dimilikinya. 

Sebuah "kedekatan" akan memberi efek negatif, jika sudah menyimpang sejak awal, karena ia hanya menganggap manusia sebagai sumber informasi, pion catur, atau mesin cetak uang.

Pada akhirnya, "kedekatan" dalam sebuah hubungan menjadi satu cerminan. Mereka yang mau (dan selalu) memanusiakan manusia, akan selalu diperlakukan selayaknya manusia.

Tapi mereka yang memperlakukan manusia sebagai alat, pada saatnya nanti akan bernasib sama dengan sikap mereka, seperti kata pepatah lama Belanda:

"Ze sterven niet, ze kwijnen wegzaam langzaam weg"

(Mereka tidak mati, mereka layu, merana perlahan-lahan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun