Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Akhir Indah bagi Si Merah

2 Juni 2019   07:04 Diperbarui: 2 Juni 2019   11:04 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum laga match day terakhir fase grup melawan Napoli di Anfield, bulan Desember 2018 lalu, kebanyakan orang sudah memvonis Liverpool bakal turun kelas ke Liga Europa, karena tim asuhan Jurgen Klopp ini selalu kalah di kandang lawan. Andai benar-benar tersingkir, ini adalah satu kemunduran luar biasa, mengingat mereka adalah finalis musim 2017/2018.

Untunglah, berkat penyelamatan krusial Alisson dan gol tunggal Mohamed Salah, Liverpool akhirnya lolos ke fase gugur, berkat keunggulan produktivitas gol atas Napoli. Untuk sementara, Liverpool lolos dari lubang jarum, meski keraguan soal performa tandang mereka masih mengemuka.

Tapi, entah kebetulan atau bukan, kemenangan atas Napoli ini seolah menjadi titik balik The Kop di Eropa. Karena, sejak memasuki fase gugur, mental mereka semakin matang. Terbukti, mereka mampu mendepak Bayern Munich sang jagoan Jerman (menang agregat 3-1) dan FC Porto sang raksasa Portugal (menang agregat 6-1). Agaknya, mesin Liverpool mulai panas.

Memang, mereka sempat berada di ujung tanduk, saat sepasang gol Lionel Messi dan satu gol Luis Suarez membuat Barcelona menang 3-0 di Nou Camp. Tapi, pada leg kedua di Anfield, giliran Jordan Henderson dkk tampil spartan dan disiplin. 

Alhasil, Liverpool menang 4-0 berkat dwigol Divock Origi dan Giorginio Wijnaldum. Kemenangan ini membawa Liverpool lolos ke final, dengan Tottenham Hotspur sebagai lawan.

Menjelang final, keraguan sempat kembali muncul. Karena, Jurgen Klopp dinilai punya catatan prestasi kurang menguntungkan di laga final. Selain itu, keraguan (lebih tepatnya kekhawatiran) pada para pemain juga muncul. Maklum, kekalahan di final Liga Champions tahun sebelumnya tergolong menyesakkan, lengkap dengan diwarnai cedera Mohamed Salah dan Loris Karius membuat sepasang blunder fatal.

Keraguan yang ada akhirnya mampu dibayar kontan, lewat performa yang ditampilkan Liverpool di laga puncak. Meski kalah dalam penguasaan bola, Liverpool tetap mampu memberikan pukulan maut kepada Spurs, lewat skema serangan balik cepat nan efektif.

Hal ini setidaknya terlihat, dari gol penalti Mohamed Salah di menit ke 2 dan Divock Origi di menit ke 87. Gol Salah berawal dari skema serangan balik cepat yang dimotori Sadio Mane, segera setelah kick off. 

"Serangan kilat" ini membuahkan penalti, akibat pelanggan handsball Moussa Sissoko saat mengantisipasi umpan silang yang dilepas Mane. Hadiah penalti ini dieksekusi Salah dengan mulus. Liverpool unggul 1-0.

Setelahnya, Spurs berusaha membongkar pertahanan rapat Liverpool dan mampu membuat sejumlah peluang bersih. Tapi, penampilan disiplin lini belakang Liverpool, plus performa ciamik Alisson di bawah mistar membuat usaha keras Spurs bak membentur tembok tebal. 

Pada situasi ini, penampilan Alisson seolah menjadi pembuktian, kalau kiper utama timnas Brasil ini adalah jawaban buat permasalahan Liverpool di bawah mistar.

Usaha keras Spurs justru menjadi bumerang, karena di menit ke 87, mereka justru kebobolan lagi lewat aksi Divock Origi memanfaatkan bola liar hasil sepak pojok, yang juga diawali dari skema serangan balik cepat. 

Tertinggal 2-0, Spurs berusaha keras menyerang, tapi semua sudah terlambat. Liverpool akhirnya meraih trofi juara Liga Champions keenam kalinya di Estadio Wanda Metropolitano (Madrid). Sebuah akhir indah dari sebuah tim yang nyaris gugur di fase grup.

Terlepas dari betapa historisnya capaian ini, perjalanan Liverpool menuju trofi juara Liga Champions keenam seolah menjadi pembuktian bahwa Liverpool sudah makin kuat secara tim dan matang secara mental. Inilah yang membuat Liverpool mampu tampil luar biasa dan sukses membungkam semua peragu, lewat raihan trofi "Si Kuping Besar" musim ini.

Dengan mentalitas setangguh ini, kita bisa melihat Liverpool bukan lagi bahan tertawaan. Jika mampu menemukan rasa "lapar gelar juara" berkat kemenangan ini, trofi Liga Champions hanya awal dari gelar-gelar lainnya di masa depan. 

Pastinya, ini akan menjadi tantangan tersendiri. Tapi, untuk saat ini, Liverpool dan Kopites layak bergembira sejenak, sebelum kembali berjuang musim depan. Bagaimanapun, gelar juara Liga Champions terlalu prestisius untuk dilupakan begitu saja.

Selamat Reds, maju terus!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun