Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Setelah Timnas Masuk Kotak

24 Agustus 2018   23:58 Diperbarui: 25 Agustus 2018   00:32 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua kali tertinggal, dua kali pula mengejar. Itulah gambaran sederhana, dari pertandingan perdelapanfinal Asian Games 2018, antara timnas Indonesia Vs Uni Emirat Arab, Jumat, (24/8). Dalam laga yang berlangsung di Stadion Wibawa Mukti ini, timnas Indonesia dua kali tertinggal lewat sepasang gol tendangan penalti Zayed Al Ameri, yang dibalas oleh gol-gol Beto Goncalves dan Stefano Lilipaly, pertandingan pun berakhir imbang 2-2, dan harus berlanjut ke babak adu penalti, setelah tak ada gol tercipta di babak perpanjangan waktu.

Sayangnya, di babak adu penalti, eksekusi Septian David Maulana dan Saddil Ramdani gagal. Akibatnya, timnas Indonesia kalah 4-3 di babak adu penalti, dan harus puas menjadi penonton di sisa turnamen. Hasil ini juga membuat timnas gagal memenuhi ekspektasi untuk mencapai babak semifinal.

Setelah laga usai, ada banyak narasi, yang merepresentasikan suara publik sepak bola nasional, terkait penyebab kegagalan timnas Indonesia. Mulai dari wasit Shaun Robert Evans (Australia) yang dianggap berat sebelah, Luis Milla yang dianggap salah memilih pemain starter, sampai pemain Uni Emirat Arab, yang dinilai banyak 'bermain drama' sepanjang pertandingan.

Tapi, publik (suporter dan media) sepak bola nasional lupa, mereka juga ikut berkontribusi dalam kekalahan ini. Hal ini bisa kita lihat bersama, dari sejak babak fase grup. Timnas Indonesia menanggung harapan besar publik, dan sorotan luar biasa dari media. Bahkan, timnas mendapat porsi pemberitaan berlebih, saat menang atas Taiwan, Laos, dan Hongkong, tiga tim yang sebenarnya bukan lawan berat buat timnas Indonesia.

Awalnya, situasi ini sempat berhasil dibendung Luis Milla dan tim pelatih timnas (termasuk asisten pelatih Bima Sakti), dengan melancarkan strategi 'sikap diam' kepada media. Tujuannya, agar para pemain bisa sepenuhnya fokus pada pertandingan.

Tapi, seiring keberhasilan timnas Indonesia menjadi juara grup A Asian Games 2018, muncul optimisme begitu tinggi. Timnas Indonesia banyak dijagokan bisa mengatasi Uni Emirat Arab. Bahkan, banyak juga yang terkesan meremehkan Uni Emirat Arab. Tanpa disadari, opini publik ini berhasil memunculkan mindset "timnas sudah menang, bahkan sebelum bertanding".

Dari sisi motivasi, mindset ini bisa menjadi pelecut semangat timnas. Tapi, dalam pertandingan sepak bola, mindset ini adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan. Karena, pada titik tertentu, sikap ini adalah satu bentuk kesombongan, yang pada akhirnya membuat tim tak mewaspadai lawan.

Jika akhirnya timnas kalah, semua pihak yang menggembar-gemborkan mindset ini, akan berlomba-lomba mencari kambing hitam, tapi lupa mengkambinghitamkan dirinya sendiri.
Sedihnya, pada titik ini, objektivitas menjadi tumpul. Karena, sudut pandang yang ada sudah terlanjur subjektif.

Situasi ini, kebetulan terjadi di laga melawan Uni Emirat Arab. Terlepas dari drama-drama yang terjadi di lapangan, termasuk satu hadiah penalti (yang dianggap kontroversial) untuk Uni Emirat Arab, kita harus akui, timnas Indonesia tak bisa bermain lepas. Banyaknya narasi yang menjagokan timnas, plus harapan (sangat tinggi) publik, terbukti malah membebani mental Evan Dimas dkk. Padahal, mereka juga sudah punya beban mental, yakni pertandingan hidup-mati melawan Uni Emirat Arab.

Di sisi lain, kekalahan dari Uni Emirat Arab, seharusnya bisa menjadi pengingat bagi publik sepak bola nasional dan PSSI selaku federasi sepakbola Indonesia, untuk mulai menyesuaikan target prestasi, dengan kualitas asli tiap pemain yang ada.

Harus diakui, PSSI selama ini hanya mematok target prestasi, dengan mengikuti ekspektasi tinggi publik. Sayangnya, target prestasi itu tak sesuai dengan level kualitas asli pemain yang ada. Celakanya, PSSI tak pernah serius berbenah. Jika timnas gagal, mereka akan berlindung dalam harapan tinggi publik. Padahal, mereka seharusnya ikut bertanggung jawab. Ironisnya, jika timnas sukses, mereka tampil paling depan dengan menepuk dada, memalukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun