Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Di Balik Polemik "Transfer" Evan Dimas dan Ilham Udin

20 Desember 2017   13:42 Diperbarui: 20 Desember 2017   22:15 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Selepas gelaran Liga 1 musim 2017, Evan Dimas dan Ilham memutuskan pindah, dari Bhayangkara FC ke Selangor FC (Malaysia). Mencari tantangan baru, dan tawaran gaji yang menarik, menjadi alasan utamanya. 

Kedua alasan ini sangat masuk akal. Karena, mereka baru saja membawa Bhayangkara FC juara Liga 1 musim 2017. Mengingat usia mereka, yang sama-sama masih 22 tahun, wajar jika mereka mencari tantangan baru, untuk meningkatkan kemampuannya.

Tapi, tak disangka, keputusan mereka ini dikritik keras Letjen Edy Rahmayadi, ketua umum PSSI. Dalam kritikannya, ketum PSSI ini mempertanyakan nasionalisme Evan dan Ilham Udin, yang dinilai mau pindah ke luar negeri dengan gampangnya, akibat tergoda tawaran gaji besar. Akibatnya, muncul kegaduhan di media.

Sebenarnya, jika dilihat sekali lagi, polemik transfer duo Evan Dimas-Ilham Udin ini, murni karena faktor negara tujuan mereka; Malaysia. Boleh saja ketum PSSI ini beralibi, kepergian kedua pemain ini, akan membuat mereka rentan diekspose Malaysia, salah satu calon lawan di Asian Games. Alibi lainnya, keberadaan Evan-Ilham di Malaysia, akan membuat mereka kesulitan mengikuti program pemusatan latihan timnas, menjelang Asian Games 2018. Selain itu, mereka akan sulit dimonitor, dan (dikhawatirkan) tak dilepas klubnya, saat Asian Games 2018 dimulai. Maklum, pada Asian Games kali ini, PSSI mematok target minimal lolos ke semifinal.

Nyatanya, polemik soal kepindahan Evan dan Ilham Udin ke Malaysia, jelas-jelas muncul, karena rasa gengsi sang ketua umum PSSI kepada Malaysia. Memang, Malaysia adalah negara serumpun, sekaligus rival Indonesia sejak lama. Sayang, kemajuan sepak bola Malaysia belakangan ini, (termasuk juara Piala AFF 2010, dan kesuksesan JDT juara Piala AFC 2015) hanya dianggap sebagai angin lalu. Agaknya, sang ketua masih terbuai dengan "common sense", yang menyatakan, sepak bola kita lebih baik dibanding Malaysia, tanpa menyadari bahwa kualitas asli persepakbolaan kita saat ini masih jalan di tempat.

Di sisi lain, polemik transfer Evan dan Ilham Udin ini, dengan jelas menampakkan standar ganda sang ketua umum PSSI, soal "bermain di luar negeri". Karena, sebelum ini, ada Ryuji Utomo (PTT Rayong, Thailand), dan Ezra Walian (Almere City, Belanda), anggota Timnas U-22 lainnya, yang bisa pindah ke klub luar negeri tanpa masalah.

Jika alibi utamanya adalah "nasionalisme", bagaimana dengan ribuan (bahkan bisa lebih banyak lagi) TKI, yang bekerja di Malaysia? Jelas, mereka bekerja di negeri jiran, akibat kekurangmampuan negara kita, dalam memberi lapangan kerja yang layak bagi mereka. Ditambah lagi, keterampilan bahasa asing mereka kurang memadai. Karena, jika mereka terampil berbahasa asing (misal bahasa Inggris), Malaysia hanya akan jadi negara destinasi kerja nomor sekian.

Masalah keterbatasan kemampuan dalam berbahasa asing inilah, yang membuat banyak pemain kita cenderung akan 'main aman', dengan memilih Liga Malaysia sebagai tujuan, jika bermain di luar negeri. Jadi, ini bukan sepenuhnya salah pemain kita. Siapa sih, yang tak mau bekerja di luar negeri, dengan gaji besar tanpa tertunggak, dan tak menemui hambatan budaya?

Daripada PSSI terus mempersoalkan keputusan Evan dan Ilham Udin pindah ke Selangor, seharusnya PSSI tidak bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Jika mereka ingin pemain lokal kita bisa bermain di luar negeri (selain Malaysia), seharusnya mereka membekali pemain kita, dengan keterampilan berbahasa asing. Apalagi, saat ini adalah era globalisasi, dimana kemampuan bahasa asing adalah salah satu aset utama, untuk dapat kompetitif, tanpa lupa menjaga rasa nasionalisme. Karena, rasa nasionalisme tanpa obyektivitas, hanyalah sebuah pemikiran picik yang menyesatkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun