Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Lelucon Masa Wisuda Tak (Lagi) Selalu Lucu

27 Oktober 2017   21:15 Diperbarui: 27 Oktober 2017   22:42 3035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: Facebook.com/SBMPTN)

Jika melihat meme lelucon masa  wisuda di atas, umumnya akan muncul dua sikap berbeda. Pertama, tertawa karena konteks meme ini adalah murni bercanda. Kedua, tersinggung, karena meme ini dinilai melukai perasaan. Sikap pertama, jelas tak akan jadi masalah. Karena ini murni candaan. Tapi, mengapa bisa muncul sikap kedua?

Jelas, sikap kedua bisa muncul, terutama bagi para wisudawan/wisudawati, yang orang tuanya tak dapat hadir saat wisuda, baik karena memang berhalangan, atau sudah meninggal dunia. Atau, mereka yang orangtuanya sudah berkorban begitu banyak, demi mencapai momen wisuda. 

Di sini jelas, meme lelucon wisuda ini, adalah lelucon yang keterlaluan. Karena, semua pengorbanan orang tua, demi anaknya dapat wisuda, direndahkan sedemikian rupa. Bahkan, orang tua yang mendukung si mahasiswa tanpa kenal lelah sejak masih bocah, dipaksa 'kalah' oleh keberadaan sosok pacar, yang belum tentu banyak membantu si mahasiswa ini, menuju tangga wisuda. Lagipula, apakah wisuda dengan status masih jomblo itu sebuah dosa?

Dapat dipastikan, si pembuat lelucon ini, tak memahami dengan benar, seberapa besar kebahagiaan orang tua, saat mereka dapat melihat langsung anaknya diwisuda, seberapa bahagia perasaan seseorang saat wisuda. Atau bahkan seberapa sedih perasaan seorang anak, saat ia wisuda tanpa didampingi kedua orangtuanya yang telah tiada sebelum si anak ini diwisuda. Sungguh terlalu.

Kebetulan, dua situasi ini terjadi pada saya, dan seorang teman saya, saat kami diwisuda tahun 2015 silam. Saya sendiri sangat bersyukur, karena, meski saya (masih) jomblo sejak lahir, kedua orangtua saya mendampingi saya saat wisuda, dalam kondisi sehat walafiat, tanpa kurang suatu apa. 

Tapi, pada saat bersamaan, saya bersimpati dengan keadaan teman saya ini. Karena, pada saat hari bahagia itu tiba, kedua orang tuanya sudah tiada. Jelas, ini bukan situasi mudah. Apalagi, teman saya ini adalah seorang wanita. Justru dari sinilah, saya dengan jujur mengakui, wanita lebih tahan banting, dan lebih cepat "move on" daripada pria, saat menghadapi situasi kurang mengenakkan seperti ini.

Selain terlihat tidak peka, lelucon saat wisuda ini juga terlihat bodoh. Karena, secara teknis, selain si mahasiswa, pihak yang wajib hadir saat wisuda adalah orangtua/wali, bukan pacar. Kecuali jika si pacar juga merangkap peran sebagai wali si mahasiswa. Lagipula, saat prosesi wisuda dilakukan di atas panggung, si mahasiswa itu sendirilah yang menjalani, tanpa boleh didampingi pacarnya. Jelas, di sini, pembuat lelucon wisuda itu kurang memahami, bagaimana jalannya proses wisuda. Tapi, dalam kekurangpahaman itu, ia justru membuat lelucon yang cenderung mem-bully mereka yang jomblo. Sungguh memalukan.

Dari salah satu lelucon saat wisuda, yang viral di media sosial ini, terlihat jelas adanya degradasi moral. Karena, lelucon wisuda ini dibuat, tanpa memperhatikan situasi secara menyeluruh, merendahkan orang lain, dan terlalu membanggakan suatu status hubungan. Akibatnya, lelucon ini justru dapat menyakiti perasaan orang lain.

Padahal, suatu status hubungan itu pada prakteknya penuh ketidakpastian, seperti halnya kehidupan setelah wisuda; yang pacaran belum tentu menikah, yang sudah menikah pun belum tentu langgeng sampai akhir hayat. Lagipula, sebuah status hubungan, dan prestasi akademis, bukan sesuatu yang harus selalu dipamerkan secara berlebihan ke publik, apalagi dibuat lelucon seperti pada saat wisuda. Tapi, status hubungan, dan prestasi akademis  itu adalah sebuah tanggung jawab, yang harus terus diperjuangkan sampai akhir. Karena, wisuda adalah langkah awal menuju kehidupan sebenarnya di masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun