Ucapan terimakasih terasa sangat mudah ucapannya, tapi terasa sangat sulit untuk mereka yang mempunyai ego sektoral yang tinggi dalam praktiknya. Lidahnya terasa kaku dalam pengucapan dan menghayatinya dengan penuh keikhlasan.
Seringkali kita mengabaikan perjuangan orang yang di sekeliling kita. Kita mengabaikan begitu saja, padahal orang itu perjuangannya sudah berdarah-darah di luar sana.
Seringkali hasil keringatnya dinikmati tanpa beban, tanpa rasa berdosa sedikitpun bahkan ironisnya orang tersebut di cerca seolah kita seorang raja yang berkuasa.
Sudah cukupkah seorang pemuda hanya bermodalkan ijazah saja, mengandalkan orang tua sebagai pekerja selama bertahun-tahun tidak mencoba hal terbaru, seperti cita-cita di kampus dulu sebagai "agen of change".Â
Ironisnya bukannya di biayai saat pendidikan setelah itu masih di sodorkan uang hanya sekedar naik bus saja. Betapa ruginya kehidupan jika prinsip itu terus berlarut tanpa dikenali puncanya.
Setiap detik adalah mata pedang yang sangat tajam, siap memutus nadi dengan kilatan keruncingan. Tiada ruang waktu siapapun kita sekalipun anak raja dengan istana yang menjulang tinggi ke awan.
Segala sesuatu apapun yang di kerjakan harus di pertanggungjawabkan sekalipun itu setetes keringat orang yang tertumpah ke dalam mulut hingga saban hari terus keranjingan.
Dunia ini medan laga, tempat bertarung, lahan bercocok tanam bukannya menikmati hasil tanpa usaha yang memadai, lalu berlagak sebagai seorang raja.
Jika itu tetap juga dipertahankan, maka tunggu saja masa rapuh mu kawan.
(Yusuf).