Pengantar
Sebuah penelitian kecil yang dilakukan Komisi Keluarga Keuskupan Atambua terhadap keluarga-keluarga muda yang pada akhirnya mengambil jalan pintas "anulasi" ternyata alasan awal mereka menikah adalah karena bencana.
Menurut mereka alasan untuk memasuki jenjang perkawinan, semata-mata karena mereka telah terjerumus dalam bencana, terutama  karena pihak perempuan telah hamil. Karena itu mau tidak mau pihak laki-laki harus bertanggung jawab terhadap 'tindakannya' itu agar ia tidak dihukum baik secara hukum adat maupun hukum sipil.
Dalam perkawinan semacam ini, sering mengabaikan tuntutan In This Economy. Pasangan suami istri terjebak oleh sikap dan tindakan gegabah mereka sendiri sehingga setelah memasuki bahtera rumah tangga baru mereka menyadari akan ketidaksiapan mereka baik secara emosional maupun financial.
Pasangan semacam ini, umumnya rentan terhadap masalah. Ketika mereka mengalami goncangan ekonomi, dan tuntutan kehidupan, mereka cepat menyerah. Mereka sering terlibat pertengkaran dan karena tidak mampu mengatasinya lagi, masing-masing memilih jalannya sendiri.Â
Dalam hal ini, dalam perkawinan Katolik, kepada pasangan-pasangan seperti ini Paus Fransiskus pada Tahun Yubileum Luar Biasa 2016 yang disebutnya Tahun Kerahiman, memperkenankan pasangan-pasangan ini mengajukan dan memperoleh anulasi dari Tribunal Gereja Katolik, agar mereka dibebaskan dari hukuman demi menerima sakramen-sakramen Gereja.
Perkawinan Katolik dan Anulasi
Menurut RP. Felix Mikel Kosat, SVD, JCL, ada tiga macam proses anulasi tergantung masalah perkawinannya, yakni pertama, proses formal biasa karena menyangkut kasus cacat konsensus nikah; kedua, proses formal administratif; dan ketiga, proses yang lebih singkat yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus.
Masih menurut Felix Mikel Kosat SVD, Paus Fransiskus memotong proses formal yang panjang dengan menghapus keharusan naik banding untuk putusan yang dikeluarkan oleh Tribunal tingkat satu, kecuali pihak responden menolak menerima putusan itu. Â
Bahkan Paus Fransiskus menambahkan lagi satu proses formal yang lebih singkat yang disebut Brevior Processus Coram Episcopo yaitu di mana Uskup sendirilah yang memutuskan perkara tersebut. Dalam hal ini Uskup dibantu oleh seorang hakim Gereja yang bertindak sebagai instruktur yang memfasilitasi pasangan itu menyiapkan semua dokumen pengaduan, libellus (pernyataan pokok perkara) dan surat-surat lainnya (Felix Mikel Kosat dalam Hello (editor), 2024: 284-294) untuk mendapatkan anulasi.
Anulasi perkawinan dalam Gereja Katolik adalah deklarasi atau pernyataan resmi dari Tribunal Gereja yang menyatakan bahwa suatu perkawinan, meskipun terlihat sah, sebenarnya tidak sah sejak awal karena adanya cacat hukum yang membuatnya tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Gereja.
Jadi anulasi berbeda dengan perceraian, sebab anulasi tidak menghapus ikatan perkawinan, tetapi menyatakan bahwa ikatan perkawinan tersebut tidak pernah ada sejak awal.