Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orangtua dan Tanggungjawab Pendidikan Seks kepada Anak

20 Desember 2021   19:59 Diperbarui: 20 Desember 2021   20:36 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendidikan seksualitas kepada anak adalah tanggungjawab orang tua sebagai pendidik yang pertama dan terutama. Itu adalah panggilan. Tapi yang menjadi persoalan mengapa para orang tua khususnya orang tua Timor terutama Dawan tidak mau memberikan pendidikan seksualitas kepada anak sejak dini? 

Bagi para orang tua di Timor khususnya suku Dawan, atau Atoni Pah Meto, membicarakan tentang seks  itu sesuatu yang tabu. Seks merupakan tema yang tabu. Dengan kata lain, tidak boleh dibicarakan.

Mengapa seks merupakan sesuatu yang tabu?

Bagi masyarakat Timor, khususnya Dawan, seks adalah sesuatu yang menyangkut kehidupan. Karena sesuatu yang menyangkut kehidupan maka 'dilarang untuk dibahas' di depan umum, apa lagi kepada anak-anak. Anak-anak dianggap belum diperkenankan untuk mendengar, apalagi membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan seks. 

Seks bagi suku Dawan sama dengan bunuk atau seperti tanda larangan yang biasanya berbentuk daun kayu atau batu atau yang sejenisnya agar sesuatu itu tidak diapa-apakan atau agar tanaman itu jangan dirusak atau agar buah-buahan itu jangan dipetik, apalagi sebelum waktunya.

Di mana letak tabunya pendidikan seks bagi anak-anak itu?

Apabila beberapa orang tua sedang membahas atau membicarakan tentang persoalan seks, lalu tiba-tiba seorang anak datang, para orang tua itu akan secara spontan saling mengatakan, "diam-diam ada anak yang datang!"

Atau antara bapak dan mama yang sedang membicarakan tentang seks, mereka akan masuk ke dalam kamar, menutup pintu dan berbisik saja supaya tidak di dengar oleh anak-anak. 

Pengalaman inilah yang mempengaruhi pendidikan seks tidak boleh diberikan kepada anak-anak. Atau lebih jelasnya, orang tua suku Dawan tidak akan berani untuk membahas hal-hal yang berbau seks dengan anak. Hal itu bisa ada benarnya atau positifnya yakni bahwa seks bukanlah hal yang boleh dibicarakan sembarangan, tetapi sesuatu yang suci atau sakral yang hanya dibicarakan ketika tiba waktunya bagi seseorang untuk mengerti.

Akan tetapi, hal ini bisa juga menjadi sesuatu yang negatif karena orang tua menutup diri, tidak terbuka kepada anak-anak, agar mereka sudah sejak dini mengenal dan mengetahui atau mendapatkan pendidikan seks sesuai tingkatan usia mereka.

Anak dan remaja suku Dawan boleh dikatakan mengalami keterlambatan dalam mendapatkan pendidikan seks. Sejak kecil, orang tua tidak memberitahukan bahwa nanti suatu waktu pada usia tertentu seorang anak perempuan akan mengalami keluarnya darah melalui vagina untuk pertama kalinya yang disebut haid atau menstruasi. 

Demikian pun kepada seorang anak laki-laki diberitahukan bahwa pada usia sekian tahun nanti kamu akan mengalami apa yang dinamakan 'mimpi basah'. Hal tersebut terjadi mungkin karena minimnya pendidikan para orang tua suku Dawan.

Seorang anak laki-laki pada suku Dawan baru bisa mendengar atau ikut berbicara seks kalau ia sudah dikatakan dewasa yaitu setelah ia 'nhel' atau potong alias sunat.  

Sedangkan anak gadis atau wanita setelah ia mengalami haid pertama atau menstruasi. Jadi sejak kecil anak-anak baik laki-laki maupun perempuan suku Dawan tidak diberikan pemahaman tentang bagaimana haid atau menstruasi pertama atau mimpi basah.

Jadi bagi masyarakat Dawan di Timor tidak ada pendidikan seksualitas kepada anak. Seseorang akan tahu tentang seks dengan sendirinya ketika ia telah mengalaminya sendiri. Karena itu bisa juga dikatakan masyarakat Dawan menganut konsep pendidikan "learn from experience". 

Karena itu bisa dimengerti bahwa banyak kasus pelecehan seksual di antara anak-anak dan remaja terjadi karena terdorong oleh pertama, perasaan ingin tahu; dan kedua, perasaan ingin membuktikan bahwa seseorang telah dewasa. Belajar dari pengalaman sebagai guru yang terbaik. ***

Atambua, 20 Desember 2021

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun