Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Permendikbudristek No. 30 Melegalkan Perzinahan: Mungkinkah?

17 November 2021   17:04 Diperbarui: 17 November 2021   17:06 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi yang dikeluarkan Mendikbudristek, Nadiem Makarim menuai protes. Konon katanya mengandung poin yang dimaknai melegalkan perzinahan di luar nikah.

Protes itu datang dari sejumlah oknum yang memandang bahwa Permendikbudristek itu bisa menjadi pintu masuk untuk terjadinya perzinahan di luar nikah dalam lingkungan Perguruan Tinggi. Pada hal lahirnya Permen tersebut, untuk menghadapi maraknya narasi tentang pelecehan seksual di lingkungan kampus.

Sebagaimana kita ketahui, pelecehan seksual adalah sebuah perilaku terkait dengan seks yang tidak diinginkan.  Yang termasuk pelecehan seksual itu, misalnya permintaan untuk melakukan seks, atau perilaku lainnya yang terjadi baik secara verbal atau pun fisik yang merujuk pada seks. Menurut Wikipedia, pelecehan seksual itu dapat terjadi di mana saja, bisa di tempat umum seperti bis, pasar, sekolah atau kantor, bisa juga di tempat pribadi seperti di rumah. 

Realita menyajikan kepada kita sekedar data bahwa kejadian pelecehan seksual itu biasanya terdiri dari 10% berupa kata-kata pelecehan; 10% berupa intonasi yang menunjukkan pelecehan; dan 80% lainnya berupa pelecehan non verbal. Pelecehan seksual bisa menimpa siapa saja. Walaupun secara umum wanita selalu disoroti sebagai korban pelecehan seksual. Pada hal korban dari pelecehan seksual itu bisa juga laki-laki bisa juga perempuan. Jadi korban bisa jadi adalah lawan jenis dari pelaku tersebut, atau bisa juga dari jenis kelamin yang sama.

Ketika seorang Menteri Nadiem Makarim berbicara tentang PPKS di lingkungan Perguruan Tinggi, sebenarnya ia menyoal tentang pencegahan atau tindakan preventif. "Mencegah lebih baik, daripada mengobati!" Benarkan? Itulah maksud utama di balik PPKS itu. Menurut pemahaman penulis, PPKS  ini dikeluarkan karena banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi bahkan dalam lingkungan kampus. 

Pencegahan itu sesuatu yang mulia dan luhur karena mempertimbangkan banyak faktor agar tidak sampai terjadi praktek kekerasan seksual, apalagi di lingkungan kampus. Kampus bukanlah lingkungan anak-anak, tetapi orang muda bahkan dewasa. Praktek pelecehan atau kekerasan seksual itu merupakan perbuatan merendahkan martabat manusia dan dengan sendirinya melanggar HAM. Maka dalam Peraturan Menteri itu lebih menekankan tindakan preventif melalui penguatan budaya di lingkungan komunitas mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan dalam bentuk KIE yakni Komunikasi, Informasi dan Edukasi.

Sebagai produk hukum dan politik, Permendikbudristek No. 30 itu langsung diikuti teknis pelaksananya yaitu Satgas PPKS.  Menurut banyak orang inilah suatu langkah maju dari terbitnya Permendikbudristek tersebut. Dengan dihadirkannya Satgas PPKS dapat memudahkan para korban pelecehan atau kekerasan seksual untuk mengadu atau melaporkan kekerasan yang dialami mereka.

Kalau semua yang berhubungan pencegahan dan penanganan kasus pelecehan seksual itu sudah diatur dengan baik dan mendetail untuk dapat dilaksanakan, lantas  mengapa diributkan? Pada hal Komnas Perempuan merupakan salah satu lembaga yang paling pertama mengapresiasi terbitnya Permendikbudristek  tentang PPKS tersebut. Mengapa justru Komnas Perempuan yang pertama mengapresiasi produk hukum ini? Karena Komnas Perempuanlah yang selalu menjadi lembaga aduan terbanyak dari korban pelecehan dan kekerasan seksual ini.

Lalu apa hubungannya dengan protes masyarakat itu? Protes anggota masyarakat itu terkait penafsiran mereka terhadap produk hukum ini yang menurut mereka bisa melegalkan perzinahan. Lho memangnya bisa? Dapatkah satu produk hukum melegalkan praktek kekerasan lainnya? Pada hal menurut pemahaman penulis, lahirnya Permen ini justeru mencegah kekerasan seksual yang sekaligus akan mencegah terjadinya perzinahan di dalam kampus. 

Sekali lagi menurut penulis yang awam hukum tetapi lebih mengedepankan etika dan humanisme, Permendikbudristek No. 30 tentu saja bukan satu-satu produk hukum yang mengatur hal ini. Masih ada produk hukum lain yang mungkin lahir mendahului sebelumnya. Produk-produk hukum tersebut tetap berlaku yang pada prinsipnya mengatur agar dunia kampus sebagai dunia akademik, bukanlah dunia praktek kemakziatan! Ingat, 'Orang Pintar adalah orang yang pertama-tama menjauhi kekerasan seksual dan apalagi praktek perzinahan".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun