Mohon tunggu...
Yosafat WilliamSinar
Yosafat WilliamSinar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

As long as I'm fine everything's fine

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dialog Sarana Mediasi Umat Beragama

14 Februari 2022   12:03 Diperbarui: 14 Februari 2022   12:20 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dewasa ini, banyak sekali peristiwa intoleransi yang terjadi di kalangan masyarakat kita sehingga memecah persatuan dan kesatuan yang kita miliki. 

Rasa persatuan dan kesatuan selalu menjadi variabel tertutup ketika peristiwa intoleransi terjadi di masyarakat. Jika kita lihat bersama, peristiwa intoleransi itu memiliki corak yang sama, yakni, soal penerimaan suatu individu dan atau kelompok yang satu dengan yang lainnya, entah berbeda etnis, ras atau agama.

Peristiwa pengeboman Gereja di Surabaya yang sedang dalam mengadakan rangkaian ibadat Pentakosta adalah bukti adanya intoleransi umat beragama. Dari kasus yang terjadi disinyalir bahwa pengeboman terjadi karena konflik balas dendam peristiwa di Ambon dengan Poso dan salah satu yang cukup disoroti adalah alasan bahwa Gereja adalah sarana kristenisasi melawan Islam. Dari kejadian ini kita tahu bahwa terjadi penerimaan yang salah antara pihak satu dengan pihak lainnya. Maka, penyebab intoleransi yang terkadang menjadi permasalahan pemecah persatuan dan kesatuan adalah penerimaan. 

Penerimaan yang berbeda

Dalam konteks zaman ini, penerimaan adalah suatu interaksi sosial yang sangat tinggi tingkatannya untuk dilakukan. Penerimaan ini selalu dikaitkan dengan stereotip. Menurut KBBI, stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat . Stereotip ada dan terus berkembang diantara masyarakat kita, entah itu sebagai hal yang konstruktif ataupun destruktif. Hal yang bersifat destruktif inilah yang terkadang merusak keutuhan persatuan dan kesatuan, serta menjadi katarsis bagi orang lain untuk melakukan kepentingan akan keyakinannya sendiri. 

Sarana yang dapat dilakukan untuk mengokupasi hal tersebut adalah dialog, khususnya antar umat beragama. Dialog berarti memberikan ruang untuk setiap anggota yang terlibat di dalamnya  dan mereduksi perpecahan ataupun kesalahpahaman satu sama lain. Sebab, agama sendiri menjadi pengikat terkuat dalam hubungan sosial jika dibandingkan dengan ras, etnis ataupun perbedaan kelompok sosial yang lain. 

Hubungan sosial terkuat membentuk identitas agama yang melahirkan sebuah kelompok yang terdiri dari pribadi-pribadi yang merasa satu aliran. Kemudian, hubungan ini diperkuat dengan adanya doktrin-doktrin keyakinan, ajaran keagamaan, ritual keagamaan serta persoalan mengenai ketuhanan dan keselamatan setelah kehidupan dengan keberadaan surga atau neraka. Adanya sikap beragama yang demikian malah menjatuhkan seseorang ke dalam sikap eksklusif yang mengakibatkan pecahnya persatuan dan kesatuan. 

Konteks gereja katolik

Gereja katolik yang sekarang adalah Gereja katolik yang relatif sudah mengilhami sikap "inklusif" yakni, teladan Yesus Kristus sendiri. Kita mengenal ajaran extra ecclesiam nulla salus dari Magisterium dan tradisi suci, dimana dalam ajaran tersebut di luar gereja tidak ada keselamatan. Sejatinya, ucapan ini tidak bermaksud bahwa mereka yang bukan anggota gereja tidak akan mengalami keselamatan, tetapi semua yang diselamatkan, diselamatkan melalui rahmat kerahiman Gereja. Namun, ucapan ini acapkali dipahami sebagai sesuatu yang eksklusif sehingga Gereja tidak dapat melihat unsur-unsur dari agama lain. 

Setelah Konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965, Gereja katolik menetapkan untuk menganjurkan penghormatan dan belajar memahami agama-agama lain. Konsili Vatikan II menyebutkan bahwa "apa yang benar dan suci" dalam suatu agama harus diakui dan dihormati. 

Sejak saat setelah Konsili Vatikan II, sikap semangat Gereja katolik terhadap agama lain adalah semakin sadar dan terbuka bahwa keselamatan Allah bekerja bagi setiap manusia. Keselamatan yang datang itu berasal dari spiritualitas teladan Yesus yang semakin mengimani bahwa keselamatan itu bersifat universal dan inklusif bagi setiap orang. Hal inipun sama seperti pernyataan Paus Yohanes Paulus II dalam surat resminya Redemptoris Missio, bahwa roh Kudus yang dipercayai oleh umat kristiani bekerja di luar batas-batas Gereja yang terlihat.

   Perkembangan sikap tersebut yang semakin mengakar mendorong Bapa Suci Paus Fransiskus untuk menyerukan anjuran apostolik Evangelii Gaudium, pasal 250-253. Ditekankan bahwa sikap keterbukaan dalam kebenaran dan kasih haruslah menandai dialog dengan pengikut agama-agama non-kristiani walaupun terkadang masih sulit dan penuh penghalang. 

Dialog antar agama

Dialog menjadi ruang yang diperlukan bagi kedamaian dunia, mengingat bahwa agama menjadi pengikat terkuat dalam hubungan sosial pembentuk identitas sosial. Dengan dialog, penganut agama yang satu dengan agama yang lainnya dapat belajar untuk menerima cara hidup, berpikir, dan berbicara yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam suatu dialog perlu dilakukan beberapa hal supaya tidak menjadikan ini sebagai momen katarsis tiap orang untuk meyakini bahwa apa yang mereka anut adalah paling benar. 

Pertama, dialog bukan sarana untuk membuat orang ikut dalam keyakinan yang agamaku miliki. Dialog mengandung nilai keterbukaan yang sesungguhnya dan menuntut tiap orang tetap pada keyakinan terdalamnya. Dengan penerimaan akan identitas dirinya masing-masing, dialog menjadi sarana memperkaya masing-masing pihak, dalam keyakinan yang dipercayainya. 

Kedua, dialog tidak untuk berselisih. Terkadang tiap orang merasa agama yang mereka yakini adalah kebenaran sejati. Namun, perlu diingat bahwa setiap pemeluk lainnya pun merasakan hal yang sama. Dialog yang dilandaskan perasaan tidak mau menerima perbedaan ajaran, akhirnya malah memunculkan polemik, salah satunya perdebatan tiada akhir satu sama lain. 

Ketiga,dialog harus menjauhi sikap relativisme. Sikap relativisme adalah sikap  diplomatis individu atau kelompok untuk mengatakan "iya" untuk menghindari suatu permasalahan. Dalam suatu penerimaan, perlu adanya kejujuran untuk mengatakan secara tegas jika terdapat perbedaan, bukan malah menghindarinya. 

Praktik dialog sebagai sarana mediasi menekankan bahwa penerimaan perbedaan ajaran tidak dapat "disama-samakan" antara agama yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut tidak perlu dipermasalahkan mana yang lebih benar. Sebab, keyakinan sepenuhnya akan perbedaan itu adalah pandangan yang subjektif. Semoga kita antar umat beragama mampu mengimplementasikan dialog umat beragama yang tepat guna menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan satu sama lain. Sebab, dialog mampu menjadi sarana mediasi yang efektif dan mendalam antar umat beragama. 

Sumber: 

https://katolisitas.org/apakah-arti-eens-extra-ecclesiam-nulla-salus/-, Diakses pada pukul 11.46 WIB tanggal 14 Februari 2022

Majalah Utusan Segala hal mencari dia, No 11 tahun ke-69, November 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun