Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Bermain-main dengan Pekerjaan

15 Maret 2018   13:16 Diperbarui: 15 Maret 2018   13:50 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber gambar: http://nasional.republika.co.id)

Ada yang beranggapan bahwa bekerja, entah sebagai pegawai, pengusaha, guru, polisi, petani, dan lainnya, hanyalah alat untuk mendapatkan uang yang bisa dipakai untuk berbagai keperluan hidup dan keluarga. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai alat untuk mengumpulkan harta guna menyejahterakan keluarga sampai ke anak-cucu. Seolah-olah anak cucu kelak tidak bisa mencari kebutuhannya sendiri. Pandangan inilah yang terkadang membuat seseorang menjadi gila harta, menghalalkan segala cara demi harta, dan askhirnya masuk bui.

Kerap dilupakan bahwa bekerja adalah panggilan bagi siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Yang utama, adalah panggilan hidup. Hidup itulah yang memanggil bahkan menuntut manusia bekerja. Manusia bekerja untuk hidup, bukan sebaliknya.

Hidup di sini, bukan hanya diri sendiri dan keluarga, tetapi kehidupan manusia dan alam sekitar. Semuanya terkait satu sama lain secara harmonis, simetris. Bila salah satu diabaikan, dirusak atau keterkaitannya diputus, maka diri sendiri tercancam. Malahan bisa punah.

Kedua, panggilan pemberi kerja. Bisa perseorangan, bisa juga lembaga. Baik lembaga pemerintah maupun swasta. Jika anda orang beriman, boleh menyebutnya sebagai panggilan Tuhan melalui manusia atau lembaga. Itulah yang dimaksudkan para orang bijak bahwa tanggung jawab pekerjaan bukan kepada manusia, melainkan kepada sang pemberi kehidupan.

Dari situ jelas bahwa seseorang bekerja hanya mungkin terjadi karena ada yang memanggil; hidupnya sendiri dan lembaga tempat bekerja. Ada relasi antara pekerja dan pemanggil, antara hidup maupun pemberi kerja dan pekerja.

Secara ideal relasi itu bersifat harmonis dan saling mendukung. Hidup, kerja, pekerja, dan pemberi kerja tidak boleh menang-menangan. Tidak boleh berkonflik. Andaikata terpaksa terjadi, maka yang harus dimenangkan adalah kehidupan. Jangan hanya gara-gara kerja, kehidupan dikorbankan, baik pekerja maupun pemberi kerja.

Pertanyaannya, apa konsekuensi kerja sebagai panggilan? Inilah yang coba diurai lebih detail berikut ini.

Orientasi  

Selain panggilan hidup, sosok-sosok pemanggil dalam pekerjaan terdiri atas banyak hal. Bagi seorang pengusaha, panggilan itu ialah panggilan usahanya, panggilan aturan yang berlaku, panggilan pengolahan bahan baku berkualitas, panggilan kesejahteraan karyawannya, dan secara tidak langsung panggilan para pengguna hasil usaha, konsumen. Panggilan-panggilan inilah yang mengharuskan pengusaha untuk mengelola usahanya dengan benar agar memberinya produk bekualitas, laba secara legal, kebaikan hidupnya dan hidup orang lain, baik karyawan maupun pengguna (user, konsumen) produk.

Hal-hal itulah sesungguhnya yang perlu dijadikan orientasi. Kepada semua komponen itu ia bekerja dan mengabdi. Itulah yang menjadi "tuannya" sebagai pengusaha. Ia dituntut melayani seluruh kepentingan komponen itu secara proporsional. Tidak mengutamakan salah satu dan mengabaikan yang lain. Dengan begitu, ia bisa mencapai banyak tujuannya sekaligus. Di samping memenuhi dan menyejahterakan hidupnya, mendapatkan laba, ia juga turut membangun kehidupan pihak lain secara harmonis dan adil.

Pelanggaran atas panggilan itu sangat berisiko. Bila hanya mencari laba, sangat mungkin pengusaha mengabaikan karyawan, melanggar aturan, mengabaikan kualitas bahan dan produk. Pada gilirannya, keadaan tersebut, cepat atau lambat, akan mengancam dirinya sendiri dan usahanya. Misalnya, karyawan menjadi ogah bekerja atau kerja asal-salan. Kerja asal-asalan membuat kualitas produk tidak kompetitif di pasaran. Produk yang tak kompetitif dijauhi konsumen, dan akhirnya perusahaannya ambruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun