Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Vonis Hakim 20 Tahun bagi Jessica, Harap Maklum

27 Oktober 2016   23:06 Diperbarui: 28 Oktober 2016   13:03 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teka-teki putusan hakim terhadap Jessica terjawab sudah. Tuntuan JPU 20 tahun pernjara atas dakwaan pelangaran Pasal 340 KUHP. Dengan merujuk pasal tersebut, JPU menyatakan bahwa Jessica telah melakukan pembunuhan berencana terhadap sahabatnya Mirna secara sadis. Tak satu pun hal yang meringankan sebagaimana lazimnya. Sikap sopan dalam persidangan atau usianya yang masih muda dan tidak pernah dihukum, tidak masuk dalam pertimbangan JPU.

Mengapa begitu?

JPU sangat yakin bahwa Jessica adalah pembunuh Mirna. Alat bukti yang mereka kantongi dan terungkap di persidangan dianggap sudah sangat meyakinkan. Anehnya, apa yang didakwakan dan hukuman tidak selaras. Dengan delik pembunuhan berencana dan dilakukan secara sadis, tuntutan JPU seharusnya hukuman mati atau paling tidak hukuman seumur hidup.

Pertanyaannya, mengapa JPU hanya menuntut Jessica 20 tahun penjara?

Jawabnya, JPU ragu. Tapi, keraguan JPU ternyata tidak memengaruhi sikap hakim, yang sejak semula memang sudah bersikap apriori, dan bahkan sudah memvonis Jessica bersalah sebelum persidangan dimulai. Hal ini tampak di sepanjang persidangan. Sikap dan cara bertanya hakim kerap tendensius. Tidak mengajukan pertanyaan yang sifatnya netral. Malahan menggiring jawaban saksi, ahli, dan terdakwa. Sampai-sampai ada yang memerlihatkan sikap tidak senang atas keterangan ahli yang tidak sesuai apa yang diharapkan hakim.

Putusan hakim jelas tidak mengagetkan. Hakim mengabulkan tuntuan JPU karena memang sesuai dengan apa yang diinginkan hakim. Dalam putusannya, Jessica disebut secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana berencana membunuh Mirna.

Ini menggelikan. Mengapa? Karena selain tidak ada alat bukti yang mematikan penyebab kematian Mirna, tidak adanya yang memastikan Jessica menaburkan apa pun di gelas kopi Mirna, termasuk CCTV, hakim hanya menggunakan keterangan ahli di pihak JPU. Keterangan ahli di pihak Jessica dianulir semua atas permintaan JPU.

Lhaaaaaa, di mana logikanya tuh pak Hakim? Bagaimana pengadilan ini disebut adil jika yang dipertimbangkan hanya alat bukti yang mendukung keberpihakan hakim?

Mengecam sikap penasihat hukum yang tidak menguak semua detail keperibadian Jessica dan hanya membela hak-hak terdakwa, sama sekali tidak masuk akal. Jangankan Jessica, Pasal 56 KUHAP mengatur bahwa terdakwa berhak didampingi penasihat hukum atau advokat. Bahkan negara berkewajiban mengadakan advokat bagi yang tidak mampu bila tindak pidana yang dilakukannya diancam pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih. Tugas advokat memang begitu. Membela hak-hak terdakwa.

Hakim semestinya tidak bersikap begitu. Namanya saja hakim. Tuganya mengadili. Dengan nama dan tugas itu, semestinya hakim bersikap netral. Adil. Wujudnya antara lain tampak pada sikap bertanya dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Apa yang ditanyakan mestinya harus bermuara pada pengungkapan fakta. Tidak boleh tendensius, bukannya menjurus memengaruhi keterangan saksi, ahli, dan terdakwa.

Pertanyaannya, ada apa dengan hakim?

Benarkah alat bukti yang disebut sebagai petunjuk bahwa Jessica merencakan pembunuhan hanya bermakna tunggal seperti yang dimaksudkan JPU dan hakim? Apakah Binsar Gultom misalnya ketika menunggu temannya di restaurant pasti tidak tolah-toleh, atau kalau tolah-toleh berarti Binsar Gultom pasti tengah mencari CCTV untuk menghindar karena merencanakan sesuatu yang buruk?

Musthil, bukan? Mustahil juga hakim Binsar terus menunduk atau hanya menatap meja di depannya. Saya berani bertaruh semangkok bakso bila hakim Binsar Gultom hanya menunduk atau terus memandangi meja di depannya tanpa tolah-toleh.

Soal membayar sebelum minum, juga bukan tindakan istimewa.

Saya pun yakin Binsar Gultom atau hakim Kisworo pernah melakukan hal yang sama. Saya sendiri berkali-kali melakukan hal tersebut untuk mencegah teman yang saja ajak makan atau minum mendahului saya membayar. Saya pun yakin, banyak orang yang melakukan hal ini di restaurant, kafe, atau di warkop di pinggir jalan di mana pun.

Demikian pula berbagai gerakan lain Jessica yang disebut sebagai petunjuk dan bersesuaian. Kalau semua gerakan atau tindakan disebut bersesuaian tentu sulit dibantah karena kebenaran penilaian hanya ada di tangan hakim dan JPU. Apa pun yang dilakukan Jessica pasti dicocok-cocokan agar sesuai dengan keinginan JPU dan hakim.

Yang lebih menggelikan adalah pernyataan hakim sebelum membacakan putusan. Hakim bilang, “Jika dikatakan terdakwa bukanlah pelaku dalam kasus ini, maka pemerintah, cq Kepolisian RI telah keliru error in persona mengajukan terdakwa ini ke pengadilan. Akan tetapi, sesuai dengan putusan pra peradilan, yang pada pokoknya penangkapan dan penahanan terdakwa sah secara hukum dan dirinya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polri dan jaksa penuntut umum, sehingga perkara ini dilimpiahkan di pengadilan, kemudian dalam putusan sela telah menolak keberatan penasihat hukum oleh majelis hakim, maka majelis hakim berketetapan bahwa surat dakwaan penuntut umum adalah sah secara hukum. Oleh sebab itu, penasihat hukum tak perlu memersoalkan apakah terdakwa melakukan atau tidak, tapi seharusnya turut menggali apa saja kekurangan dan kelebihan terdakwa...”

Pernyataan ini menggelikan karena di sini hakim sangat menitik beratkan aspek formal, dan kurang memertimbangkan aspek material. Seolah-olah semua tindakan penyidik polri pasti benar secara hukum apabila dilakukan secara prosedural. Padahal prosedur awal di tempat kejadian ada banyak yang dilangkahi penyidik. Police line tidak dipasang, sisa kopi yang diminum Mirna tidak langsung diamankan sehingga semua jejak-jejak penting untuk penyelidikan dan penyidikan malah dilewatkan begitu saja.

Sekarang Jessica sudah dihukum 20 tahun. JPU dan hakim tampak puas. Persoalannya, apakah dengan demikian keadilan sudah ditegakkan? Apakah “nyanyian” Amir Papalia di akhir persidangan dapat diabaikan begitu saja? Apakah materi keterangan ahli yang dinulir karena tidak sesuai dengan keinginan JPU dan hakim menjadi pertanda bahwa hakim sudah berlaku adil? Saya jadi bingung pak hakim!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun