Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Ketika Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana Membeli Roti di Toko Besi

15 Juni 2019   15:16 Diperbarui: 16 Juni 2019   02:35 7196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://www.tribunnews.com/

Membaca surat pemohonan gugatan Paslon 02 tentang Perselisihan Hasil Pilpres yang dinakhodai Bambang Widjojanto oleh pendukung dan simpatisan Paslon 02, memang bisa mengundang decak kagum. Bisa membuat mereka sangat yakin adanya kecurangan Pemilu yang dilakukan oleh Paslon 01, Jokowi-Ma'ruf Amin.

Dengan uraian dalam permohonan gugatan plus komentar-komentar tim kuasa hukum kepada media, awam pun bisa bilang: wah gawat. Ini pasti benar, Paslon 01, Jokowi-Ma'ruf Amin curang. Layak didiskualifikasi. Tidak boleh lain, Paslon 02, Prabowo-Sandi harus segera ditetapkan menjadi pemenang Pilpres 2019. Mengapa bisa begitu?

Dalam permohonan, yang juga dibacakan di persidangan perdana, dijelaskan adanya lima poin pelanggaran fatal yang dilakukan Paslon 01.

Pertama, penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program kerja pemerintah. Kedua, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN. Ketiga, ketidaknetralan aparatur negara, polisi dan intelijen. Keempat, pembatasan kebebasan media dan pers. Kelima, diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum. Pelanggaran tersebut dituangkan pada no 39 pada pokok permohonan, yang diuraikan dalam 12 halaman (17-28).

Selain itu, masih ditambah dengan pembatasan kepada media, dilarangnya penayangan demo 212 oleh TV nasional, dibatasinya tayangan acara ILC TVOne, dan diblokisnya situs jurdil2019.org. Inilah alasan Bambang mengatakan bahwa kompetisi Pilpres 2019 bukan antara Paslon 01 dan 02, tetapi antara Paslon 02 dan Presiden Jokowi.

Campur Aduk

Namun, bagi yang mengerti hukum, kendati hanya secuil seperti saya, membaca permohonan tersebut merasa bingung atau geleng-geleng kepala. Mengapa?

Karena uraian dalam permohonan campur aduk. Yang paling kentara adalah uraian kewenangan MK di bagian II dan uraian pokok perkara di bagian V.

Di bagian II, dijelaskan secara singkat dan jelas tentang kewenangan MK. Dengan menyebutkan beberapa dasar hukum, seperti UUD 1945, UU MK, UU Pemilu, dan UU Kehakiman, mereka menyimpulkan bahwa gugatan yang mereka ajukan merupakan kewenangan MK. Jadi, tidak salah alamat.

Namun, dan ini yang benar-benar aneh, di bagian V yang seharusnya melulu menguraikan pokok permohonan justru ngalantur ke mana-mana. Bukannya uraian langsung tembak pokok perkara. Isinya dimulai dari semacam kuliah kepada hakim MK tentang apa itu MK, fungsi MK, apa yang seharusnya dilakukan MK dalam menjaga konstitusi, menegakkan hukum dan keadilan. Uraian ini memakan berlembar-lembar halaman permohonan.

Setelah itu, diuraikan kasus-kasus kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif secara teori dan beberapa kasus. Termasuk misalnya kasus Pilkada seperti di Jawa Timur 2008, dan Tangerang Selatan.

Isi permohonan juga seolah tengah melakukan dengar pendapat di DPR dalam pembahasan RUU Pemilu. Mereka menguraikan bahwa pelanggaran Pemilu tidak seharusnya dibagi dua dalam proses dan hasil. Pelanggaran dalam proses dan hasil tak seharusnya dipisah menjadi urusan Bawaslu dan MK. Perlu diberi kewenangan kepada MK secara lebih luas menangani kasus dalam proses dan hasil agar bisa turut menegakkan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilu.

Dalam pokok permohonan sama sekali tidak ada rincian gugatan hasil perhitungan suara antara Paslon 01 dan 02 berupa angka. Bukti yang disodorkan banyak yang bukan fakta lapangan tetapi link berita atau media sosial, rujukan UU, maupun tulisan opini. Lima poin pelanggaran yang dituduhkan kepada Jokowi pada no 39 permohonan, sama sekali tidak didukung bukti selain anggapan, dugaan, asumsi tak berdasar.

Tidak heran kalau dikatakan bahwa gugatan tersebut bukan gugatan terhadap fakta berdasarkan fakta hukum, melainkan gugatan fakta berdasarkan opini mereka sendiri dan opini pendukung Paslon 02.

Gugatan semacam itu tentu saja bukan hal sulit untuk dipatahkan. Tak perlu ahli hukum. Jangankan pakar sekaliber Yusril Ihza Mahendra, mahasiswa yang baru belajar hukum pun diyakini bisa melakukannya.

"Semuanya dapat dipatahkan. Karena semuanya itu berupa asumsi saja, lemah sekali," kata Yusril Ihza Mahendra di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).

Dibandingkan dengan permohonan gugatan banyak Caleg Provinsi maupun Kabupaten Kota serta calon DPD kepada MK, dapat dikatakan permohonan Paslon 02 jauh dari format maupun isi sebuah gugatan hasil Pemilu.

Dalam gugatan para Caleg dan calon DPD, pokok permohonan sangat jelas. Perbedaan data suara hasil perhitungan KPU dan pihak pemohon dirinci di tiap wilayah disertai bukti. Itulah dasar hukum pemohon untuk memohon MK membatalkan hasil perhitungan suara KPU.

Membeli roti di toko besi

Permintaan pemohon kepada MK lebih kacau lagi. Mirip seorang anak yang disuruh ibunya membeli roti. Si anak bukannya mendatangi toko roti, malahan pergi ke toko besi. Sudah tentu bisa dibayangkan jawaban penjaga toko. Ia pasti bilang, "Nak, ini toko besi. Kami tidak menjual roti di sini". he he.

Lihat saja tujuh permintaan (petitum) dalam permohonan. Permintaan pokok saja keliru. Bukannya meminta MK membatalkan keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu, khususnya lampiran tentang perhitungan suara Pilpres 2019. Yang diminta hanya sebatas putusan untuk menyatakan tidak sah dan batal demi hukum keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu 2019.

Sepintas permintaan ini tampak tidak bermasalah. Tetapi dalam kaca mata hukum jelas keliru. Kekeliruannya ada dua. Pertama, yang diminta bukan membatalkan keputusan KPU, tetapi sekedar meminta pernyataan MK bahwa keputusan KPU tidak sah dan batal demi hukum. Permintaan semacam ini tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap keputusan KPU.

Padahal, yang diharapkan Prabowo-Sandi bukan sekedar meminta pernyataan MK terhadap keputusan KPU itu, melainkan meminta MK membatalkan keputusan KPU tersebut. Pembatalan keputusan KPU itulah yang memungkinkan gugatan Prabowo-Sandi tercapai.

Kedua, ini lebih parah lagi, pemohon tidak membatasi permintaannya pada pembatalan hasil perhitungan suara untuk Pilpres, malahan meminta MK membatalkan hasil perhitungan suara Pemilu 2019. Permintaan ini mirip seorang yang hendak membunuh nyamuk dengan membakar rumah. He he.

Permintaan tersebut jelas keliru besar. Yang dipersoalkan hanya hasil perhitungan suara Pilpres, tetapi yang diminta meliputi hasil perhitungan suara Pemilu seluruhnya, termasuk suara untuk Caleg (DPR dan DPRD) dan DPD.

Permintaan lainnya juga begitu. Kacau. Meminta pernyataan MK bahwa Paslon 01 melakukan kecurangan, meminta mendiskualifikasi Paslon 01, dan meminta menetapkan Paslon 02 menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024 mirip dengan anak yang membeli roti di toko besi tadi.

Setelah selesai membaca permohonan itu sepintas, saya jadi bertanya-tanya apakah Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana memang keliru karena kelalaian, pura-pura tidak tahu, atau karena tergesa-gesa menyusun gugatan saja?

Apa pun jawabanya, saya kira lebih tepat kita menunggu keputusan MK sebagai "penjaga toko besi".

Artikel terkait:

Putihkan Seluruh TPS, Jokowi Melanggar Asas Bebas Rahasia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun