Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Masih Perlukah Pertemuan Jokowi dan Prabowo?

5 Juni 2019   08:59 Diperbarui: 5 Juni 2019   09:18 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://nasional.kompas.com

Pertemuan Prabowo dan Jokowi, ternyata masih diharapkan banyak pihak. Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Cucun Ahmad Syamsurijal misalnya berharap agar pertemuan keduanya bisa dilakukan pada saat momen Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran 1 Syawal 1440 Hijriah (Kompas.com 4/6/2019).

Pada kunjungannya menyatakan rasa berbelasungkawa atas berpulangnya Ibu Ani Yudhoyono kepada SBY, hal itu pernah ditanya wartawan kepada Prabowo. Tapi berita itu tak terlalu banyak dibahas. Perhatian publik lebih tertuju pada pernyataannya mengenai pilihan Ani Yudhoyono pada Pilpres 2014 dan 2019.

Menjawab wartawan, Prabowo hanya bilang "Nanti kita lihat ya, semua ada waktunya," ujarnya (tribunnews.com).

Di kalangan BPN Prabowo-Sandi sendiri menurut Fadli Zon tidak satu suara. Hal itu diakui oleh Juru Bicara BPN, Andre Rosiade. Menurutnya, hingga kini belum ada keputusan tentang pertemuan kedua tokoh itu. Ada yang mengusulkan waktu saat moment lebaran dan lainnya mengusulkan setelah MK memutus sengketa hasil pilpres yang diajukan BPN. Semuanya tergantung Prabowo, jelas Andre.

Membaca berita tersebut, pertanyaan mengganjal di benak saya ialah apakah pertemuan itu masih perlu? Untuk apa?

Mendinginkan suhu politik?

Kalau tujuan pertemuan untuk mendinginkan suhu politik atau meredam polarisasi di tengah masyarakat, terutama pendukung kedua kubu, tampaknya sudah tidak relevan. Keadaan saat ini sudah jauh lebih kondusif dibandingkan saat Prabowo mengumumkan kemenangan 62% sampai terjadinya kerusuhan 21-22 Mei.

Lain halnya kalau pertemuan itu dilaksanakan segera setelah pengumuman hasil hitung cepat (quick count) Pilpres beberapa saat setelah pemungutan suara, 17 April 2019. Dapat dikatakan nilainya saat itu sangat tinggi. Baik bagi bangsa dan negara maupun bagi prabowo dan Jokowi. Namun, lebih tinggi bagi Prabowo.

Mengapa? Karena ketegangan politik yang dikhawatirkan masyarakat tidak datang dari kubu pendukung Jokowi, melainkan dari kubu Prabowo. Bukan saja karena kubu Prabowo selalu mewacanakan dicurangi oleh KPU dan Bawaslu. Kekhawatiran muncul karena terus digaungkannya people power apabila Pemilu curang.

Andaikata pertemuan dilaksanakan saat itu, pun beberapa saat sesudahnya, kemungkinan besar kerusuhan 21-22 Mei tak terjadi. Namun, ada hal lain yang tak kalah penting, yaitu ketokohan dan kenegarawanan Prabowo mendapat pengakuan di berbagai kalangan. Sayang sekali, moment tersebut tidak dimanfaatkan oleh Prabowo maupun BPN. 

Sikap Prabowo menolak pertemuan saat itu memang bisa dipahami. Dengan mengadakan pertemuan antara dirinya dan Jokowi, sama halnya Prabowo menerima kekalahan yang telah ditunjukkan hasil hitung cepat. Bagi dia, hal itu pantang terjadi. Jauh-jauh hari ia sangat yakin bahwa dirinyalah yang menang. Bukan saja menjelang, saat, dan setelah pemungutan suara Pilpres 2019, tetapi sejak Pilgub DKI tahun 2017.

Situasi Politik dijamin stabil

Sekarang, situasinya beda. Suhu politik sudah turun. Ketegangan antar kedua kubu mulai melemah. Lebih kondusif. Beberapa provokator, penggerak, dan penghasut massa melakukan people power sudah diamankan. Memang belum semuanya. Namun, percayalah ketika polisi sudah memiliki alat bukti yang cukup, para provokator tersebut akan diamankan juga.

Para perusuh dan orang yang ditugaskan melenyapkan beberapa tokoh nasional sudah ditangkap juga. Mereka tinggal diproses secara hukum. Kita berharap dalam persidangan nanti mereka akan membeberkan siapa sebenarnya dalang dan penyandang dana aksi kerusuhan.

Jadi, kalau ada yang bilang suhu politik masih panas, mungkin saja benar. Tetapi bukan di kalangan masyarakat. Tetapi, terbatas di kalangan individu atau kelompok tertentu saja. Kemungkinannya ialah individu atau tokoh yang merasa diri dicurangi dalam Pilpres dan/atau yang kecewa karena niat jahatnya membuat kekacauan besar-besaran di Jakarta berhasil dipatahkan Polisi dan TNI. Mereka inilah yang tidak bisa tidur lelap, merasa gerah, panas, kendati keadaan politik sudah mulai stabil.

Bahwa ada potensi ketegangan saat-saat persidangan gugatan Prabowo-Sandi di MK tentu saja benar. Namanya saja potensi. Tapi rakyat tak perlu khawatir. Sepanjang Polisi dan TNI memegang teguh Sapta Marga dan Sumpah Prajurit yakinlah keadaan Indonesia aman.

Kalau demikian apakah pertemuan Prabowo dan Jokowi masih perlu? Tentu saja perlu. Tapi tujuannya bukan mendinginkan suhu politik lagi, karena suhu politik sudah dingin. Kalau didinginkan lagi malah rusak. Bisa berubah seperti es, dingin, mengeras, dan kaku.

Kalau memang pertemuan khusus hendak dilaksanakan, maka tujuannya sekedar selaturahmi biasa sebagai sesama anak bangsa. Pertemuan yang umumnya terjadi saat lebaran untuk saling bermaaf-maafan atas segala kesalahan entah disengaja maupun tidak, termasuk selama proses Pilpres. Lebih baik lagi kalau pertemuan itu turut melibatkan para tokoh lain seperti para pimpinan partai untuk membangun silaturahmi.

Pada hemat saya, hal tersebut jauh lebih penting dari pada pertemuan antara Jokowi dan Prabowo semata. ***

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H bagi admin Kompasiana, teman-teman Kompasianer, dan para pembaca yang merayakannya.

Mohon maaf yang setulus-tulusnya kalau ada tulisan saya yang, karena kelalaian, sempat menyakiti hati teman-teman dan pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun