Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilihan Bagi Prabowo Tinggal Dua, Menghentikan Hoax atau Masuk Penjara

21 Mei 2019   08:44 Diperbarui: 21 Mei 2019   14:33 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Rabu, 22 Mei 2019 adalah pengumuman hasil Pemilu 2019 mencakup Pileg, Pil-DPD, dan Pilpres. Dari situ, bangsa kita mengetahui siapa-siapa yang menjadi wakilnya di legislatif dan Paslon mana yang sah menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024

Sedetik setelah pengumuman itu, semua wacana Prabowo tentang klaim kemenangan, tuduhan keruncangan kepada siapa saja dan lembaga apa saja, menolak hasil Pilpres, menolak bayar pajak, dan lainnya, perlu diakhiri. Prabowo tak perlu berteriak-teriak lagi dengan menggunakan media apa pun. Selain tidak berguna, baik bagi Prabowo sendiri maupun bangsa dan negara, akibatnya selalu tidak menyenangkan.

Apabila diteruskan, maka Prabowo akan berhadapan dengan hukum. Penegak hukum, utamanya pihak Kepolisian RI, berkewajiban menangkap Prabowo pada kasus berciri pidana delik formil dan segera merespon delik aduan.

Menggapa? Karena deklarasi kemenangan adalah hoax, dan hoax merupakan tindak pidana kategori delik formil, yang tak menunggu adanya akibat dari perbuatan. Menolak hasil Pilpres sama sekali tidak mendidik. Cenderung menyuburkan sikap bermusuhan dan perpecahan dalam masyarakat. Tuduhan kecurangan bisa masuk kategori fitnah atau perbuatan tidak menyenangkan. Menolak bayar pajak termasuk katgori melawan hukum.

Semua tindakan tersebut sama sekali tidak mengandung niat baik. Malahan menyiratkan niat menghasut agar orang lain bertindak melawan hukum, membentuk opini agar Presiden dan Wakil Presiden terpilih dipersepsi negatif oleh masyarakat. Tulisan berikut secara khusus menyoroti kasus hoax.

Sama dengan kasus Ratna Sarumpaet

Deklarasi kemenangan tanpa dukungan data dan fakta sama dengan hoax Ratna Sarumpaet (RS) yang mengantarnya menjadi pesakitan. Ia mendeklarasikan kepada publik bahwa ia dianiaya, padahal tidak. Dia operasi plastik untuk memercantik diri. Niatnya jelas jahat. Sebagai salah seorang tim sukses Paslon 02, RS diduga memanfaatkan benjolan-benjolan di wajahnya untuk memercantik diri seolah-olah bekas penganiayaan untuk menyerang Pemerintah RI dan/atau Paslon 01.

Atas perbuatan itu, RS dijerat dengan Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Ketentuannya: "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun."

Hal yang mirip dilakukan Prabowo. Dia mendeklarasikan diri menang, padahal tidak. Tidak ada data pendukung selain karangan para pendukung yang mungkin hendak menjerumuskan Prabowo. Oleh sebab itu ancaman pidananya sama dengan RS.

Selain itu, Prabowo bisa dijerat dengan ketentuan Pasal 28 Ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seperti yang diterapkan kepada RS.

Perbuatan itu termasuk delik formil. Oleh sebab itu, tanpa menunggu adanya korban Prabowo bisa langsung ditangkap oleh polisi seperti RS. Batas toleransi klaim itu berakhir atau harus diakhiri sedetik, ya, hanya sedetik, setelah KPU mengumumkan hasil Pemilu.

Pasalnya, selain melanggar hukum, klaim tersebut merupakan tindakan sadar, disengaja dan tanpa hak Prabowo menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu kepada KPU, Bawaslu, bahkan mungkin kepada Paslon terpilih. Ini sudah merupakan tindakan SARA sebagaimana diatur dalam UU ITE tersebut.

Memang ada yang berpendapat bahwa penerapan Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 tidak tepat, seperti pernah dilontarkan pengacara RS dalam persidangan RS sebagaimana saya kemukakan dalam tulisan ini. Menurutnya, pasal tersebut hanya tepat diterapkan pada saat revolusi.

Alasan tersebut jelas keliru. UU No 1 tahun 1946 masih berlaku. Belum dicabut. Jangka waktu berlakunya tak dibatasi oleh masa dan kurun waktu. Sepanjang bisa dijalankan, masih berarti, dan dipandang perlu untuk menyelamatkan masyarakat, bangsa, dan negara, maka UU tersebut perlu diterapkan.

Demikian pula penerapan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, ada yang bilang tidak tepat karena sejak klaim kemenangan dideklarasikan belum muncul kebencian atau permuduhan terhadap KPU dan Bawaslu. Pandangan ini juga keliru. Yang namanya delik formil memang tidak menunggu akibat perbuatan seperti halnya dalam kasus pembunuhan sebagai delik materil misalnya.

Lagi pula penyebaran hoax secara sadar di depan umum sudah pasti tidak asal dilontarkan tanpa maksud. Di balik penyebaran hoax pasti terkandung tujuan jahat, merusak, seperti disebutkan di depan.

Contoh Hoax dan keputusan Prabowo

Bayangkan saja betapa besarnya resiko yang bisa muncul apabila ada yang mengumumkan di radio, TV, atau media cetak dengan mengatakan Pesawat X dari perusahaan Y dengan nomor penerbangan 000 yang take off pada pukul sekian, Jatuh di Perairan Jawa. Seluruh penumpang tidak ada yang selamat.

Atau misalnya ada orang iseng menyebar hoax di berbagai media sosial dengan mengatakan bahwa seluruh jalur kereta api dari Jakarta ke arah Timur ditutup untuk jangka waktu yang tidak diketahui karena sejumlah rel rusak berat diterjang banjir bandang di beberapa tempat. Keputusan ini ditetapkan oleh Menteri Perhubungan dengan surat nomor xxx, dan beralaku mulai hari ini tanggal sekian, pukul sekian.

Penyebar hoax semacam itu jelas bisa segera diciduk oleh Polisi. Pasalnya, selain menyesatkan, juga bisa menimbulkan kepanikan dalam masyarakat. Membuat masyarakat, khususnya yang berkepentingan, bisa stress atau mungkin ada yang meninggal karena keterkejutan hebat dan tiba-tiba.

Harap diingat bahwa pelanggaran terhadap Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 diancam pidana dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun. Sedangkan pelanggaran terhadap Pasal 28 Ayat (2) diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah (Vide Pasal 45 A, ayat (2) UU ITE).

Bagi Prabowo, tentu saja besarnya denda tidak masalah. Dari hasil usaha besarnya, denda sebesar itu tidak ada apa-apanya. Namun, dengan ancaman pidana 10 (sepuluh) tahun atau 6 (enam) enam tahun, tentu Prabowo terganjal berpolitik. Termasuk untuk berlaga lagi pada Pilpres 2024-2029 yang akan datang.

Untuk itu, Prabowo perlu merenungkan sikapnya selagi ada kesempatan. Pilihan keputusan tinggal dua. Meneruskan hoax dengan imbalan pidana penjara atau berhenti sama sekali. Mulai saat ini, dan paling lama sedetik setelah KPU mengumumkan hasil Pemilu tanggal 22 Mei 2019. ***

Artikel terkait:

Kemungkinan Tindakan Nekat Prabowo dan Kegagalannya yang Berakhir di Ruang Isolasi

Selamatkan Prabowo dari Cengkeraman para Pecundang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun