Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dua Pilihan Ekstrim bagi FPI: Izin Diakhiri atau Ditolerir

13 Mei 2019   16:05 Diperbarui: 13 Mei 2019   22:16 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.kompasiana.com

Siapa pun yang menghendaki suasana tenang, damai, rukun dalam menjalankan hidup, bisa dipastikan tidak pernah setuju, apalagi menghendaki izin FPI diperpanjang.

Alasannya sangat simpel. Pertama, organisasi ini tidak memiliki tujuan baik untuk memerjuangkan kelangsungan hidup bangsa dan NKRI berdasarkan idologi Pancasila dan UUD 1945. Perjuangannya bukan itu. Malahan merontokkan, mengobrak abrik, dan menghancurkannya dengan cara mengganti ideologi negara dengan syariah Islamiah. Ini sama dan sebangun dengan perjuangan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang sudah dibubarkan itu.

Hal ini dapat dilihat dari poin-poin anggaran dasar FPI yang diwartakan radarkotanews beberapa waktu lalu. Di antaranya, ialah mendukung perjuangan penegakan Khilafah Islamiyyah dan menolak pemimpin non muslim karena dinilai telah merupakan kewajiban agama.

Pandangan tersebut didasarkan pada acuan FPI dalam kehidupan, termasuk hidup berbangsa dan bernegara. Satu, meyakini bahwa Agama Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq; Dua, taat kepada Allah SWT bersifat mutlak, sehingga apa saja yang ditetapkan Allah SWT wajib dipatuhi tanpa sedikit pun keraguan; Tiga, ketaatan kepada Rasulullah SAW juga bersifat mutlak, sehingga apa saja yang ditetapkan Rasulullah SAW wajib dipatuhi tanpa sedikit pun keraguan; dan Empat, taat kepada Ulama dan Umara bersifat Muqoyyad yaitu terikat kepada Taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Antara lain implikasinya ialah FPI menolak sistem demokrasi dan kesetaraan gender karena dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Keyakinan dan ketaatan terhadap hal-hal di atas tentu saja tidak salah. Diterima oleh umat Islam lainnya. Ia menjadi masalah, dipersoalkan, karena FPI menjadikannya acuan satu-satunya dalam menjalankan kehidupan bersama dalam masyarakat yang majemuk.

Memerjuangkan hal tersebut dalam negara yang masyarakatnya majemuk pasti berimplikasi pada pemaksaan, kekerasan, dan akhirnya berujung pada pertengkaran, bahkan perkelahian dan perang terhadap sesama anak bangsa sendiri.

Nyaris selalu berwarna kekerasan

Kedua, aksi-aksi anggota FPI sejak ia berdiri tahun 1998 nyaris selalu diwarnai dengan kekerasan terhadap siapa pun yang dinilainya tidak sesuai dengan garis perjuangannya, baik fisik maupun narasi.

Kalau ada yang mau membuat tabel dengan menjejerkan daftar tindakan yang dapat dikategorikan baik, membangun kehidupan bersama, menolong sesama, menegakkan keadilan dan kebalikannya, maka kesimpulan yang dapat ditarik hanya satu: FPI tidak membawa kebaikan bagi bangsa dan negara selain diri mereka sendiri.

Sebutlah misalnya aksi mereka pada SI MPR 13 November 1998. Pada saat itu, mereka mendesak MPR mencabut Pancasila sebagai ideologi satu-satunya dan tiga hal lainnya. Hal yang sama dilakukan pada tanggal 10 dan 27 Agustus 2000. Diawali  dengan Surat Pernyataan tentang Maklumat Pengembalian Piagam Jakarta oleh DPP FPI, 10 Agustus, disusul aksi tanggal 27 Agustus menuntut MPR/DPR agar mengembalikan Pancasila sesuai dengan Piagam Jakarta.

Dari tahun ke tahun, aksi penyerbuan lokasi perjudian, tempat diskotek, gudang atau toko atau warung penjual minuman keras, warung makan saat bulan Ramadhan, tempat esek-esek, atau sweeping di berbagai super market atau mini market di berbagai daerah dengan melarang pemasangan atribut Natal, atau perkelahian di berbagai tempat seperti dalam kasus Ketapang, Gajah Mada, Jakarta Pusat, keributan di Pekalongan dengan preman seperti kasus Ketapang.

Dan banyak lagi. Masih ingat penganiayaan terhadap sesama anak bangsa di Monas? Mereka menyerang massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang akan memperingati hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2008. Pada kejadian itu puluhan orang menjadi korban dan harus dirawat di rumah sakit. (Tempo). Masih ingat kericuhan yang berujung penganiayaan wartawan pada Malam Munajat 212 (Wikipedia)? Masih ingat penghinaan Presiden RI pertama, (alm. Ir. Sukarno) oleh Habib Rizieq? Kalau mau tahu lebih rinci silahkan browsing sendiri ya!

Dari kenyataan itu, niat baik yang selalu digaungkan menjadi tak berarti. Memerjuangkan kebaikan dengan menganiaya, merusak, menyakiti orang lain bukanlah cara-cara manusia normal. Menegakkan hukum dengan cara melawan hukum, jelas keliru. Mirip dengan mendidik anak nakal di rumah dengan menyiksanya, juga keliru. Mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan Syariah dan khilafah sama sekali tidak membuat bangsa tetap utuh dan langgeng.

Kekeliruan memosisikan diri dan pelanggaran hukum

Ada yang bilang bahwa FPI melakukan hal itu karena lemahnya penegak hukum, utamanya polisi, dalam menegakkan hukum. Dari pada bangsa ini menjadi rusak, maka FPI bertindak.

Kekeliruan cara berpikir itu ada tiga. Pertama, secara tidak langsung telah menghina lembaga kepolisian. Menganggap lembaga kepolisian tidak bisa berbuat apa-apa sekaligus menganggap dirinya lebih berkuasa.

Kedua, FPI telah menganggap diri lebih tinggi dari pada banyak aturan hukum. Bahkan menganggap hukum adalah dirinya sendiri. Atas pandangan itu, semua ketentuan hukum yang mengatur kewenangan ormas dan kewenangan Polisi dalam menangani berbagai kasus dalam masyarakat dianggap sampah.

Hal tersebut jelas melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf d UU Ormas (UU No 16 Tahun 2017). FPI melanggar larangan untuk melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara khusus melanggar ketentuan Pasal 13 huruf a, b, c dan 14 ayat (1), huruf e dan i, UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Sebab hal itu merupakan tugas dan wewenang kepolisian.

Juga melanggar ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf a dan g, UU  No 2 Tahun 2002 karena tidak melaporkan kasus yang dinilai melanggar hukum, malahan dan langsung mengambil tindakan, yang sesungguhnya merupakan tugas polisi.

Pelanggaran atas Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d UU Ormas dapat dikenakan sanksi adminsitrasi dan pidana (lihat Pasal 60 ayat (2) UU Ormas. Pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

Tetapi, yang lebih berat adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c, UU Ormas: "Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta. menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila." Ancaman pidananya pada Pasal 82A  menegaskan "Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ..., dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun."

Dengan ketentuan itu sebenarnya, penegak hukum sudah dapat menciduk para pimpinan FPI. Bahkan sejak mereka meminta MPR mencabut Pancasila yang mendeklarasikan penerapan Syariat Islam dan khilafah, pengurus FPI bisa diadili.

Ketiga, mengklaim diri sebagai satu-satunya lembaga yang menjaga kemurnian agama dan ajaran Islam tentu saja mendiskreditkan dua organisasi besar dan sudah teruji dalam Islam, yakni NU dan Muhammadiyah. Disebut demikian karena apa yang diperjuangkan FPI dan cara-caranya berjuang kerap bertentangan dengan sikap dan pandangan kedua organisasi tersebut.

Kembali ke jalan yang benar

Kalau FPI masih mau eksis, izinnya diperpanjang oleh pemerintah, dan berkemungkinan diterima oleh rakyat Indonesia, maka ada setidaknya tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, mengakui dan menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan dasar negara. Ini harus ditulis eksplisit dalam AD/ART organisasi.

Konsekuensinya, memerjungkan syariat Islam dan paham khilafah harus dihapus dari memori semua pengikut FPI. Secara eksplisit pula dihapus dari AD/ART.

Kedua, FPI perlu berinduk pada NU atau Muhammadiyah. Hal ini harus tampak dalam struktur torganisasi, program, dan ajaran. Jangan terus menerus menjadi organisasi eksklusif yang mengabaikan organisasi Islam yang kredibilitasnya sudah teruji dalam menjaga ajaran dan sikap terhadap NKRI, ideologi Pancasila, dan UUD 1945.

Ketiga, sikap mau menang sendiri harus dibuang jauh-jauh. FPI perlu kembali ke jalan yang benar dengan memosisikan diri sama dan setara dengan Ormas lain. Ketika melihat atau menemukan pelanggaran hukum umpamanya, jangan main babat, main hakim sendiri. Cukup dengan melaporkannya kepada penegak hukum. Paling banter, mendesak aparat agar segera menanganinya demi kebaikan bersama.

Tanpa ketiga hal di atas, dan hal lain yang perlu, saya yakin rakyat Indonesia yang menghendaki suasana tenang, rukun, dan damai akan berkata: Pemerintah tak perlu memerpanjang izin FPI. Organisasi FPI harus dihapus dari bumi Indonesia. ***

Artikel terkait:

FPI, Macan Tinggal Sekadang dengan Kawanan Domba

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun