Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanah: Neraka dan Darah Bagi Kaum Proletar

4 Mei 2017   13:21 Diperbarui: 4 Mei 2017   14:13 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perlawanan Petani (sumber: RevolusiIlmiah.com)

“Pada dasarnya, tiap-tiap penduduk dibolehkan mempunyai milik tanah di kota untuk tempat kediamannya atau tempat usahanya, tetapi mempunya tanah sebagai obyek perniagaan tidak dibolehkan” – Hatta

“Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis tetapi tanah keringat air mata maut, neraka buat kaum proletar...di sana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga, serta antara penjajah dan terjajah” – Tan Malaka

Pendahuluan

Pernyataan kedua pendiri bangsa Indonesia di atas rasanya bisa menyingkat semua kisah panjang tentang sejarah agraria di Indonesia yang telah terentang melintasi masa sejak jaman penguasaan VOC sampai orde pasca-reformasi hari ini. Indonesia yang dikenal dunia dengan emas hijau berupa rempah dan sumber daya alam hari ini sudah terkoyak-koyak dan hanya menjadi arena penderitaan panjang bagi kaum yang paling vital posisinya dalam rantai hidup manusia yakni petani (dalam arti luas) dan masyarakat miskin lainnya. 

Kaum yang seharusnya dilindungi karena peran fungsionalnya dalam menyediakan pangan bagi kaum lain yang tak pernah menanam dan menangkap ikan di laut malah justru paling diperas. Lebih jauh lagi dalam posisinya sebagai warga negara, petani dan kaum miskin adalah yang paling dipinggirkan hak kewarganegaraannya sedangkan dari kacamata kemanusiaan, mereka lah kaum yang hak asasinya paling sering diinjak, diacuhkan bahkan dibungkam dengan peluru.

 Apa yang salah dari timpangnya antara “yang seharusnya” dan “yang nyata” ini? Tentu ada sebuah situasi yang salah dan tak berdasarkan akal sehat sehingga situasi tidak adil tersebut ada. Terdapat faktor lain yang menyebabkan situasi tersebut yakni politik. Politik dalam hal ini politik penguasaan baik politik penjajahan yang terjadi sebelum Indonesia merdeka sebagai sebuah nation ataupun politik pembangunan yang diterapkan pasca kemerdekaan. 

Hatta telah menunjukkan dengan jelas di awal pembangunan bangsa bahwa persoalan tanah akan muncul ketika ada orang yang menjadikan tanah sebagai barang dagangan atau komoditas, terlebih ketika seseorang mengakumulasi tanah melebihi kebutuhannya untuk tinggal yang mana menyebabkan terkonsentrasinya tanah pada beberapa orang yang belum tentu memanfaatkannya untuk produksi pangan. 

Tan Malaka menyoroti bahwa terjadinya permasalahan tanah merupakan konsekuensi mutlak dari kapitalisme yang membelah masyarakat jadi dua, antara yang punya dan tak punya atau antara penjajah dan dijajah, antara borjuis dan proletar dimana kaum proletar dihisap habis semua miliknya termasuk ruang hidupnya sehingga hanya menyisakan tenaga badannya saja.

Jika ada adagium bahwa “agraria adalah dampak dan kapitalisme adalah sebab”  maka seperti layaknya perlawanan terhadap kapitalisme yang tak kunjung berakhir, perjuangan kaum tani dan kaum miskin lain akibat struktur penghisapan dan ketidakadilan dalam sistem agraria aan terus berjalan sampai akar masalahnya yakni kapitalisme hancur. 

Masalahnya kapitalisme hari ini tidak berjalan sendirian, bersama negara dan institusi koersif negara kapitalisme telah bertransformasi menjadi agama neo-liberalisme berskala internasional yang jauh lebih kuat. Oleh karena itu perjuangan agraria juga menuntut perubahan pada wacana dan alam pikir negara. Seberapa besar negara bisa diharapkan? Mungkin untuk itu perlu dilihat bagaimana negara berperan selama ini.

 Masuknya jalan raya kapitalisme ke desa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun