Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Khianat Sri Rama

13 Februari 2011   09:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:38 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1297589587409118520

[caption id="attachment_90442" align="alignleft" width="300" caption="photo.net"][/caption] Hanoman hanya bisa menangis melihat apa yang terjadi dalam gelaran sejarah negeri Ayodya hari ini. Negeri yang pernah dibelanya dengan air mata dan darah, negeri hebat dan gilang gemilang yang dipimpin yang Maha Hebat Sri Rama hari-hari ini begitu kelam oleh arang dan lumut. Namun apa yang bisa dia lakukan, ini semua sudah seperti suratan... siapa menabur angin dia yang akan menuai badai, dan saat ini adalah masa ketika badai itu usai! "Maafkan aku Sang Dewi Sinta...kuasa dunia bukan di tanganku, tapi aku yakin bumi ada dalam genggamanmu hai wanita agung..!" sengguk Hanoman, kera putih bijak yang kini telah menua renta. ---------------------------------- Bertahun waktu berlalu sejak Sri Rama, Laksmana dan Sinta terpaksa tinggal dalam pengasingan di kegelapan Hutan Dandaka, suatu ujian terbesar bagi sang pewaris tahta, ujian akan kebesaran hati. Bersama Laksmana, adik sekaligus kasim yang setia, Sinta dijaga bersama dari bahaya para siluman dan binatang hutan. Namun keputihan hati Sinta pula lah yang akhirnya membuatnya terpancing sang Kijang emas gadungan Kala Marica dan terampaslah Sinta oleh sang durjana Dasamuka, penguasa Alengkadiraja yang paling ditakuti. Sinta sedang duduk di taman salah satu istana yang diberikan oleh Rahwana ketika datanglah Hanoman, sang utusan Sri Rama yang datang secara khusus dari Pancawati untuk melihat situasi Alengka sebelum penyerangan. Selain untuk mengamati keadaan, Hanoman punya misi lain. "Siapakah dirimu hai monyet putih?" kata Sinta yang ditemani Trijata, putri Wibisana. "Aku Hanoman, utusan Sri Rama yang Agung, aku diserahi tugas untuk menyampaikan pesan bahwa Sri Rama akan datang dan menjemputmu," jelas Hanoman. "Namun ada satu hal yang juga diinginkan oleh Sri Rama, dia ingin engkau memakai cincin ini sebagai bukti kalau dirimu masih suci dari sentuhan Rahwana sang angkara." Mendengar hal itu, menangislah Sinta dalam hening sembari tetap mengulurkan jari dan mencobanya. Cincin itu pas di jari Sinta yang lentik, bukti bahwa dirinya masih suci dan setia. Tiba-tiba meledaklah hardikan Trijata, "Apa-apaan Rama ini, untuk apa ini semua, tak percayakah ia pada kekasihnya sampai harus dibuktikan dengan cincin segala. Sungguh  memalukan," hambur Trijata, sang pendamping Sinta di Alengka. Trijata sendiri adalah keponakan Rahwana namun membenci Rahwana karena telah membunuh ayahnya. "Biarlah Trijata, tak semudah itu lelaki memahami kesetiaan, apalagi ia adalah penguasa, biarlah ini jadi bukti kesetiaanku yang tak lekang, kembalilah dan sampaikan pada kekasihku Sri Rama bahwa aku menantinya." ujar Sinta dengan lembut. Hanoman pun berbalik ke Pancawati -pos penyerangan mereka- dengan hati trenyuh. Akhirnya balatentara Rama dan Sugriwa memang datang dan mampu menghancurkan Alengka, termasuk Rahwana dan Kumbakarna, sang raksasa patriot Alengka. Sri Rama dengan langkah tegap teriring panji-panji kemenangan berkibar menuju Taman Argasoka, tempat Sinta ditahan oleh Rahwana. Binar mata Sinta tak dapat disembunyikan ketika kembali bertemu belahan jiwanya, Sri Ramawijaya yang telah berpisah bertahun-tahun. Sayangnya hal itu tak berlangsung lama. "Sinta kekasihku, dirimu telah 12 tahun di Argasoka ini, dunia dimana durjana Dasamuka dapat menyentuh dan menguasaimu, berkenankah dirimu melakukan satu ujian lagi agar aku yakin akan dirimu?" kata-kata Rama seperti gelegar petir siang bolong di telinga Sinta. Bahkan Hanoman pun tak percaya mendengar kata-kata panutannya ini. Pria perkasa yang selama ini begitu bijaksana, bagaimana mungkin dapat dengan tega meminta sekali lagi ujian kesucian atas Sinta, bidadari jelita yang telah begitu setia menantinya dan berani menolak Rahwana sekalipun. "Apakah tak cukup bukti dengan ujian cincin dahulu?" gusar Hanoman. Sementara Laksmana hanya diam, karena dari dialah usulan ujian ini datang. Dengan hati yang remuk, Sinta menyanggupi ujian apapun itu karena ia tahu, Rahwana tak pernah menyentuhnya. "Besok aku akan menyelenggarakan ujian bakar diri, masuklah ke dalam api yang menyala-nyala, bila memang dirimu masih suci tentu dewa-dewa akan menyelamatkanmu istriku..." dingin sekali kata-kata Rama. Sinta merasa hancur mendengarnya, bukan api yang ia takuti melainkan ketidakpercayaan Rama, satu-satunya pria yang ia cintai selama ini, sampai tega dua kali memintanya melakukan ujian kesucian. Namun dengan kemantapan hati, esok harinya Sinta tetap menjalani ujian itu. Dan benar, berkat kesucian Sinta, Dewa Agni melindunginya dari kobaran api yang menjilat-jilat. Hanoman merasa sangat malu menatap ujian yang diadakan di tengah alun-alun ini. Rama dan balatentaranya kembali ke Ayodya membawa Sinta, kemudian Sri Rama menjadi maharaja Ayodya yang paling Agung. Namun Sinta yang dibawa bukanlah Sinta yang sama saat diculik Dasamuka di Dandaka. Sinta yang ini tinggal membawa serpihan hatinya yang telah luluh lantak dihancurkan Sri Rama sendiri, lelaki yang dipercayainya. Saat itu Sinta berpikir: "Bahkan Rahwana jauh lebih terhormat daripada Sri Rama yang agung ini, Rahwana tak pernah memaksa menyentuhnya, apalagi memaksanya menjadi istri, meski durjana Dasamuka tetap menjaga kehormatannya, tapi justru suaminya sendiri yang menghinakannya," air matanya kembali membasahi negeri Ayodya. Suatu masa datanglah masa pageblug di Ayodya, mata air mengering, lahan gagal panen, penyakit meruak di seantero negeri, dan hujan pun tak kunjung turun. Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus, seribu, seratus ribu gunjingan muncul di kalangan rakyat dan bahkan dalam kerabat istana. "Pasti ini akibat hawa durjana yang dibawa oleh Sinta sepulangnya dari Alengka!" begitu teriak sang penjual daging di pasar. "Betul, sebelumnya negeri ini kaya raya, sejak kepulangan Sinta lah semua ini berubah" pekik tukang catut kereta. "Sinta harus dibuang dari Ayodya!!" teriakan lebih banyak lagi "Ya, ya, setuju..setuju!" ribuan orang akhirnya bersuara sama. Kabar ini sampai juga ke telinga Maharaja Sri Ramawijaya, membuatnya gundah antara berpikir ia adalah suami Sinta namun dirinya juga seorang raja yang harus mendengar kata-kata rakyatnya, sebodoh apapun mereka. Kekuasaannya tak akan berjalan mulus jika terus dirongrong rakyat dan kalangan pembantunya yang tak menginginkan Sinta. Maka terjadilah hal yang tak masuk nalar orang normal....Sri Ramawijaya mengusir Sinta dari istana! Sinta dengan perut mengandung, sendirian tersaruk-saruk di tengah hutan, padang rumput, merenangi sungai, untuk melangkah menjauhi istana yang pernah menjadikannya permaisuri agung. "Duh....kenapa sampai begini, karena kuasa dan kecongkakan Rama, segala kesuciaan, kesetiaan, dan cinta yang kuberikan serasa tak berarti?" Dalam perjalanan berminggu-minggu, segala kecantikan Sinta lenyap tertelan buasnya medan pengasingannya yang entah berakhir dimana. Sampai akhirnya badannya tak sanggup lagi bangun, tenggelam lah Sinta dalam ketidaksadaran. Beberapa tahun kemudian, tampaklah Sinta bersama 3 orang sedang bercengkerama di sebuah pondok di pinggir hutan. Orang pertama adalah Walmiki sang begawan, dan dua orang muda lain adalah Lawa dan Kusha, putra kembar Sinta. --------------------------- Rama dan Ayodya berada jauh dari sana, setelah Sinta diusir negeri itu tak bertambah baik, Rama berada dalam kedukaan yang tinggi karena kehilangan Sinta sang bidadarinya namun membawanya pulang adalah mustahil karena rakyat dan pembantunya tidak menginginkan Sinta kembali. Rama berubah menjadi seorang raja yang setengah waras seakan kehilangan nalar dan gila untuk terus berperang sebagai pelampiasannya atas hilangnya separuh jiwanya dalam diri Sinta yang jelita. Hanoman yang bijaksana pun telah meninggalkannya dan hidup sebagai pendeta dalam kesunyian. Sampai pada suatu masa, dalam gelaran invasi besarnya sampai lah Rama di daerah dimana Walmiki dan Sinta serta kedua anaknya tinggal. Kedua kekasih lama akhirnya bertatap muka, masih sama-sama menyimpan kerinduan dan cinta mendalam meski Sinta masih merasakan luka sayat yang dalam. "Sinta kekasihku, ini aku Rama, aku datang," kata Rama. Sinta tercekat menatap mata Rama, cahaya itu masih ada di kedua orang kekasih itu. "Untuk apa kau datang Sri Rama, aku sekarang perempuan desa kotor, tak layak bertutur dengan seorang maharaja seperti dirimu," ujar Sinta berusaha tabah. "Aku ingin membawamu kembali ke Ayodya" "Paduka Raja, engkau tak menghendaki kekuasanmu tidak didukung oleh orang kebanyakan, untuk terus di singgasana engkau membutuhkan dukungan banyak orang, dan orang-orang itu tak menghendakiku lagi." "Sinta, aku tidak mempertaruhkan cintaku untuk kekuasaan. Marilah ikut aku ke istana, namun sebelumnya bisakah dirimu melakukan satu ujian lagi supaya aku percaya engkau benar-benar suci?" Seketika kelam menyelimuti petang itu, langit tiba-tiba gelap, tak tampak lagi cahaya dari Batara Surya, semua mengiringi ledakan kesedihan yang tak tertahankan lagi di hati Sinta, habis sudah serpihan hatinya dilindas kedukaan begitu dalam dan menyentak dadanya dengan keras. "Engkau ternyata tetap tak mampu memisahkan cinta dan keangkuhan Sri Rama yang Agung, titisan sang Wisnu sendiri. Tak boleh ada noda dalam kekuasaanmu dan dirimu yang suci ini" Rama tetap terdiam di atas kudanya, Sinta melanjutkan ucapannya sambil menahan isakan, bahkan langitpun tak mampu melihat kebesaran hati Sinta dan kedukaan yang melingkupinya. "Baiklah maharaja Sri Rama, jika engkau menuntut kesucianku, akan aku berikan! Demi Dewa Bumi yang  melahirkan diriku, biarlah aku ditelan tanah yang merekah, hilang lenyap selama-lamanya jika diriku memang memenuhi tuntutan kesucian. Kuucapkan sumpahku ini Rama, untuk menunjukkan betapa kesucian tidak mungkin diabdikan kepada kuasa keangkuhan!" Bumi tiba-tiba bergetar hebat, awan di langit berputar-putar, angin berubah jadi dingin menusuk tulang seusai Sinta mengucapkan sumpahnya. Tanah dibawahnya merekah, terbelah, dan Sinta melayang ke bawah, tanpa tangis dan jeritan, tanpa suara. "Ibuuuu...!!!" hanya teriakan Lawa dan Kusha yang terdengar, sampai akhirnya bumi menutup kembali. ---------------------------------- Dialog Sinta dan Rama di bagian akhir diambil dari Kitab Omong Kosong, oleh Seno Gumira Ajidarma, 2006, hal 73.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun