Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kapitalisme, Coronavirus, dan Omnibus Law

18 April 2020   01:54 Diperbarui: 18 April 2020   02:29 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembukaan paksa hutan tropis untuk perkebunan monocropping skala besar memutus rantai ekologi (sumber: phys.org)

Saat ini satwa tak hanya berinteraksi dengan manusia melainkan berebut ruang dengan manusia. Alokasi modal alam yang seharusnya untuk satwa liar terserap habis untuk ekonomi manusia (Zcech dan Daly 2017) dan karena seluruh elemen ekologi saling terhubung, hilangnya satu rantai dalam siklus alami satwa akibat campur tangan manusia menciptakan celah yang akhirnya memukul balik manusia. 

Kekhawatiran saya, bila Corona mampu teratasi, manusia kembali jumawa seolah telah menang berkat teknologi dan sains. Padahal sains selalu berada di belakang nature, sains hanya menemukan rahasianya, sumber pengetahuannya ada di alam. 

Merusaknya tanpa memahaminya terlebih dahulu adalah awal kehancuran, dan apabila di medan perang, menghadapi musuh yang kita tidak ketahui sebelumnya adalah bencana, setidaknya ilustrasi Sun Tzu dalam Art of War telah mengajarkan itu. 

Ke depan entah apa lagi yang akan muncul (dengan asumsi kelakuan manusia tidak berubah), dan apakah sains sudah tahu bagaimana akan menghadapinya?

Saatnya mawas diri dan berhenti sejenak

Momen perang global melawan pandemik ini mestinya jadi kesempatan bagi para pemimpin dunia dan kita selaku ras manusia untuk berhenti sebentar, merendahkan hati di depan alam, untuk tidak berlaku business as usual seperti tidak terjadi apa-apa. Jumlah 5000 atau 8000 yang tewas bukan hanya statistik, mereka korban dari kerakusan global dari sistem produksi kapitalisme dan konsumerisme gila-gilaan di seluruh dunia. Saatnya untuk menanggalkan keangkuhan kita dan meninggalkan mitos pertumbuhan yang sesat. 

Tentu suatu hal yang konyol ketika negara miskin harus meningkatkan angka pertumbuhannya sementara negara-negara yang sudah maju dan menghabiskan energi maksimal juga ikut meningkatkan (atau setidaknya mempertahankan) angka pertumbuhan ekonominya. 

Ini ibarat sebuah balapan antara becak melawan Formula 1 yang pemenangnya niscaya sudah kita ketahui, jikapun becak akan menang, entah kapan dan (sementara itu) selama balapan itu, sumber daya dunia sudah defisit. Ini baru dinamakan kiamat sudah dekat.

Dengan kegundahan seperti itu, di tengah begitu risaunya kita di Indonesia dengan tingkat persebaran virus yang makin meluas tak terkendali, sistem pelayanan kesehatan sudah limbung, ketidakpercayaan pada pemerintah, rekan sosial melemah, dan ekonomi akar rumput roboh,terindikasi bahwa salah satu menteri utama di kabinet justru sedang wakuncar dengan Bank Dunia dan IMF untuk mendukung percepatan implementasi Omnibus Law (bisnis.com 16 Februari 2020). 

Seperti telah dibahas oleh banyak pihak dari beragam disiplin, omnibus law adalah instrumen untuk percepatan pertumbuhan, akumulasi investasi berbasis industrial dan cara cepat untuk mendapatkan pendapatan bagi negara. Watak regulasi ini adalah pro-modal dan pro-utang yang berimplikasi langsung pada sumber daya alam baik di darat maupun di laut. 

Jika Omnibus Law tetap dilaksanakan, maka sumber daya alam kembali akan diusik, ketegangan antara human-nature akan kembali menguat. Di sisi lain sistem layanan kesehatan masih lemah, sistem mitigasi risiko lemah, penegakan hukum timpang, legitimasi terhadap pembuat kebijakan rendah,dan sistem integrasi sosial masyarakat gampang retak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun