Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Antara Status Bencana, Pakar, dan Media Sosial

22 Agustus 2018   02:14 Diperbarui: 22 Agustus 2018   18:24 3580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Antara Foto/Ahmad Subaidi via Reuters)

Polemik mengenai perlu atau tidaknya penetapan status bencana bagi serial bencana gempa di Lombok dan sekitarnya bergulir liar, secara serampangan para pihak menuntut ini itu berdasarkan pendapat, motif, maupun emosi yang dialaminya akibat bersentuhan langsung dengan korban, atau bahkan menjadi korban itu sendiri. 

Simpati sebesar-besarnya pada keluarga korban maupun para penggiat kemanusiaan yang tanpa lelah memberikan yang terbaik bagi orang lain di atas kepentingan diri maupun keluarganya sendiri.

Saya sendiri tidak terlibat langsung dalam operasi kemanusiaan di Lombok, tak ada kontribusi apapun dari saya selain mendoakan yang terbaik agar korban tidak bertambah dan kehidupan sosial ekonomi dan budaya kembali pulih dan berjalan. 

Namun melihat perdebatan di ruang publik yang begitu terbuka dan asimetris satu sama lain membuat saya geregetan dan sedikit ingin mencurahkan pikiran saya, entah berguna atau tidak, setidaknya uneg-uneg saya tersalurkan. 

Sekitar sepuluh tahun saya belajar dan beraktivitas dalam manajemen kebencanaan, sampai saat inipun masih belajar dan tidak pintar-pintar juga. 

Oleh karena itu saya masih menikmati bacaan, diskusi maupun perdebatan soal manajemen bencana sepanjang dilakukan dalam wahana para pelaku di bidang kebencanaan, bersifat ilmiah, dan potensial memberikan manfaat bagi jangka panjang. Kenapa ini perlu saya sampaikan di depan, mungkin terjawab ketika Anda sudah membaca sampai akhir coretan ini. Mohon dimaafkan.

Empat motif dari empat kelompok penanggap
Setidaknya ada empat motif yang terbaca dari polemik penetapan status ini. Yang pertama adalah yang dilontarkan politisi (khususnya oposisi), motif yang tampak adalah berupaya mencari kesalahan dari pengambil keputusan tertinggi. 

Tidak penting apa yang diambil karena semua yang dipilih Jokowi akan menjadi titik bidik berikutnya untuk menjatuhkan citra Jokowi sehingga oposisi bisa mengambil keuntungan darinya. Untuk motif ini saya tak hendak mengomentari karena.....tidak ada gunanya bagi siapapun di luar pribadi pengkritik dan kelompoknya. 

Motif kedua adalah adanya emosi yang  melandasi para penggiat kemanusiaan yang ada di Lombok melihat penderitaan para penyintas bencana yang menginginkan adanya bentuk respon dan penanganan yang memadai untuk segera memulihkan kondisi para penyintas. 

Hal ini sangat dimengerti, beberapa kali terlibat dalam operasi kemanusiaan ada emosi yang terobek, tangis kadang pecah dalam diam ketika berinteraksi dengan para korban dan keluarga, memandang anak-anak yang kehilangan rumah aman dan sekolahnya, inipun membuat kita terbawa perasaan yang dalam. 

Rasanya ingin teriak dan marah pada para birokrasi yang bertele-tele, para makelar yang coba cari untung, atau bahkan pada aktivis yang berlaku tak pantas dalam kondisi bencana seperti itu. 

Dengan segala hormat pada pihak yang kedua ini, tapi kadang perlu untuk keluar dari situasi emosional agar bisa melihat permasalahan lebih jernih dan menyeluruh, atau biarkan yang berjarak dan memiliki kelonggaran berpikir untuk mencari alternatif solusi yang baik agar para penggiat fokus pada misi kemanusiannya yang mulia.

Motif ketiga adalah eksistensi para pihak awam yang aktif di ruang-ruang media sosialyang memberikan pendapat namun kebanyakan berasal dari pendapat yang mis-informed atau not well-informed. Ada baiknya, motif pada kelompok ketiga ini perlu mendapatkan edukasi dan informasi yang lebih banyak agar argumennya lebih elaboratif. 

Sedangkan motif dari kelompok keempat adalah motif atas dasar pertimbangan rasional bahwa serial bencana Lombok membutuhkan penanganan yang jauh lebih besar, melibatkan lebih banyak pihak, anggaran lebih besar, dan mobilisasi sumber daya lebih optimal agar cepat terjadi pemulihan pasca bencana. Kebanyakan disuarakan oleh penggiat manajemen bencana pada level manajerial atau perencana, atau analis kebencanaan. 

Pada kelompok keempat ini lah pernyataan atau penjelasan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau ahli kebencanaan soal alasan tidak ditetapkannya Lombok sebagai bencana nasional menemukan mitra untuk melakukan elaborasi pemikiran.

Secara pribadi, bagi saya, ketika terjadi polemik seperti ini, pada siapakah sebaiknya merujuk, dimintai pendapat atau didengar pandangannya? Bagi saya, para pakar kebencanaan lah yang harus dirujuk dengan mencermati setiap argumennya secara kritis. Tapi siapa pakar di belantara masyarakat terbuka seperti ini? 

Banyak saluran yang bisa digunakan untuk eksis oleh siapapun yang mengakses media sosial maupun media daring dan semua orang merasa ia tahu semuanya. Ini berbahaya karena pendapat yang salah --apalagi terpublikasi-- namun tanpa koreksi dari pakar dapat mendelegitimasi ilmu pengetahuan atau keahlian yang telah dimiliki para pakar tersebut.

Ujungnya semua akan tersesat dalam belantara ketidakjelasan dan saling menyalahkan, sementara itu kita meninggalkan sendirian korban yang menahan perih luka dan duka dalam.

Menurut Nichols (2017) dalam bukunya The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters menguraikan bahwa pakar atau ahli bukan hanya orang yang memiliki pengetahuan yang komprehensif dan memiliki wewenang untuk menggunakan pengetahuannya tersebut, bukan pula sebatas penyebutan kaum profesional, terlebih hanya mendasarkan pada definisi orang yang tahu banyak dan pendapatnya dapat dipercaya (?). 

Definisi tersebut tak memadai, wewenang dari mana, pengetahuan apa,  apa kah yakin bisa dipercaya, atau iya profesional tapi bidang apa dulu, bertanya soal manajemen bencana ke seorang politisi profesional jelas tidak nyambung atau malah sesat. 

Maka Nichols mendefinisikan secara moderat "pakar" atau "ahli" adalah orang yang diyakini mengetahui lebih tentang suatu subjek tertentu daripada orang kebanyakan, orang-orang yang akan kita mintai pendapat, ajaran, atau solusi atas suatu wilayah pengetahuan tertentu, orang yang secara alamiah atau sehari-hari adalah bagian dari kelompok kecil orang yang pandangannya memiliki dimensi otoritatif untuk menentukan bahwa ini "benar" atau "tepat" dibandingkan orang lain.

Masih abu-abu kah definisi "pakar" ini? Baik ini penjelasan tambahannya, setidaknya ada empat hal yang membedakan seseorang itu ahli atau bukan di tengah-tengah kerumunan manusia baik yang maya ataupun yang nyata saat ini. Keempat hal tersebut adalah: 

a) pendidikan yang didapatkan;
b) bakat yang tumbuh dari pembelajaran dirinya selama menjalani suatu aktivitas tertentu;
c) pengalaman yakni jam terbang yang memadai untuk mengerti subjek yang ia bicarakan; dan
d) afirmasi atau pengakuan dari rekan yang bekerja atau beraktivtas di bidang yang sama. 

Kombinasi keempatnya akan memberikan keyakinan pada kita bahwa apa yang disampaikannya adalah "relatif" akurat dibandingkan orang lain yang tidak memiliki kombinasi keempat aspek tersebut. 

Maka apabila dalam beberapa waktu terakhir ada pendapat yang menyatakan bencana ini berhubungan dengan kehendak Yang di Sana, desakan menetapkan bencana nasional, atau yang terakhir, ajakan tobat nasional. 

Apakah pernyataan itu perlu kita masukkan pikiran kita dan tanggapi? Ya lihat saja dari keempat aspek tersebut, apakah memenuhi syarat untuk kita "percaya" omongannya? Terlebih apakah kita tidak malu menge-"share" pernyataannya ke publik lebih luas seakan Anda mendapat justifikasi dari orang besar, orang tahu, atau pakar?  

Jangan-jangan kita mengajak orang banyak menuju kesesatan yang lebih parah.Lalu bagaimana dengan pernyataan pejabat BNPB misalnya sebagai agensi utama negara dalam manajemen bencana, BMKG dengan peringatannya, LIPI dengan prediksinya, atau para pakar-pakar geologi, hidrologi maupun vulkanologi yang tersebar di kampus-kampus bereputasi, atau bahkan dari NGO yang sudah berjibaku dengan ratusan bencana di dunia? 

Apakah mereka memenuhi empat pembeda  di atas? Jika iya, kenapa masih berpolemik? Jika tidak, apakah ada yang lebih dalam empat indikator tersebut yang bisa memberi masukan langsung pada agensi-agensi  dan pakar-pakar ini agar mengeluarkan pendapat atau tindakan yang berbeda?

Saya sendiri jelas bukan pakar, pendidikan saya bukan kebencanaan, bakat tidak mengesankan, pengalaman di kebencanaan cuma secuil, apalagi pengakuan dari sejawat, dikenal saja tidak. 

Jadi saya hanya menjadi yang mengamati dari jauh dan mendengar dari para pakar bagaimana yang terbaik bagi penyelesaian masalah bencana di Lombok. 

Saya hanya geregetan saja. Jadi jangan tanya-tanya saya soal status bencana, kecuali jika motif Anda adalah sekedar menghabiskan waktu bersama saya sambil ngopi. Tentu akan saya terima dengan senang hati untuk bicara apa saja.

Namun dari kasus arti penting pakar ini, kita dapat belajar tentang bagaimana kita menyikapi dan bertindak khususnya di media sosial ataupun dunia nyata serta bagaimana penerapannya  pada masalah-masalah lain yang sedang dihadapi oleh negara ini (karena setidaknya 5 tahun kita menemui ini di segala isu, bayangkan gemasnya!).

Dengar dari yang tepat, dari yang tahu, dari yang belajar soal itu, berbakat karena tekun, pengalamannya segudang, dan diakui kepakarannya oleh rekan sejawatnya. Maka hari Anda dan linimasa kita akan indah setiap hari. Salam tangguh bencana (ll)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun