Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Antara Status Bencana, Pakar, dan Media Sosial

22 Agustus 2018   02:14 Diperbarui: 22 Agustus 2018   18:24 3580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Antara Foto/Ahmad Subaidi via Reuters)

Dengan segala hormat pada pihak yang kedua ini, tapi kadang perlu untuk keluar dari situasi emosional agar bisa melihat permasalahan lebih jernih dan menyeluruh, atau biarkan yang berjarak dan memiliki kelonggaran berpikir untuk mencari alternatif solusi yang baik agar para penggiat fokus pada misi kemanusiannya yang mulia.

Motif ketiga adalah eksistensi para pihak awam yang aktif di ruang-ruang media sosialyang memberikan pendapat namun kebanyakan berasal dari pendapat yang mis-informed atau not well-informed. Ada baiknya, motif pada kelompok ketiga ini perlu mendapatkan edukasi dan informasi yang lebih banyak agar argumennya lebih elaboratif. 

Sedangkan motif dari kelompok keempat adalah motif atas dasar pertimbangan rasional bahwa serial bencana Lombok membutuhkan penanganan yang jauh lebih besar, melibatkan lebih banyak pihak, anggaran lebih besar, dan mobilisasi sumber daya lebih optimal agar cepat terjadi pemulihan pasca bencana. Kebanyakan disuarakan oleh penggiat manajemen bencana pada level manajerial atau perencana, atau analis kebencanaan. 

Pada kelompok keempat ini lah pernyataan atau penjelasan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau ahli kebencanaan soal alasan tidak ditetapkannya Lombok sebagai bencana nasional menemukan mitra untuk melakukan elaborasi pemikiran.

Secara pribadi, bagi saya, ketika terjadi polemik seperti ini, pada siapakah sebaiknya merujuk, dimintai pendapat atau didengar pandangannya? Bagi saya, para pakar kebencanaan lah yang harus dirujuk dengan mencermati setiap argumennya secara kritis. Tapi siapa pakar di belantara masyarakat terbuka seperti ini? 

Banyak saluran yang bisa digunakan untuk eksis oleh siapapun yang mengakses media sosial maupun media daring dan semua orang merasa ia tahu semuanya. Ini berbahaya karena pendapat yang salah --apalagi terpublikasi-- namun tanpa koreksi dari pakar dapat mendelegitimasi ilmu pengetahuan atau keahlian yang telah dimiliki para pakar tersebut.

Ujungnya semua akan tersesat dalam belantara ketidakjelasan dan saling menyalahkan, sementara itu kita meninggalkan sendirian korban yang menahan perih luka dan duka dalam.

Menurut Nichols (2017) dalam bukunya The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters menguraikan bahwa pakar atau ahli bukan hanya orang yang memiliki pengetahuan yang komprehensif dan memiliki wewenang untuk menggunakan pengetahuannya tersebut, bukan pula sebatas penyebutan kaum profesional, terlebih hanya mendasarkan pada definisi orang yang tahu banyak dan pendapatnya dapat dipercaya (?). 

Definisi tersebut tak memadai, wewenang dari mana, pengetahuan apa,  apa kah yakin bisa dipercaya, atau iya profesional tapi bidang apa dulu, bertanya soal manajemen bencana ke seorang politisi profesional jelas tidak nyambung atau malah sesat. 

Maka Nichols mendefinisikan secara moderat "pakar" atau "ahli" adalah orang yang diyakini mengetahui lebih tentang suatu subjek tertentu daripada orang kebanyakan, orang-orang yang akan kita mintai pendapat, ajaran, atau solusi atas suatu wilayah pengetahuan tertentu, orang yang secara alamiah atau sehari-hari adalah bagian dari kelompok kecil orang yang pandangannya memiliki dimensi otoritatif untuk menentukan bahwa ini "benar" atau "tepat" dibandingkan orang lain.

Masih abu-abu kah definisi "pakar" ini? Baik ini penjelasan tambahannya, setidaknya ada empat hal yang membedakan seseorang itu ahli atau bukan di tengah-tengah kerumunan manusia baik yang maya ataupun yang nyata saat ini. Keempat hal tersebut adalah: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun