Dikisahkan ada seorang mahasiswa Universitas Syiah Kuala bernama Khaidir. Saat itu sekitar jam 01.00 WIB tengah malam, hujan rintik-rintik masih turun selepas hujan lebat melanda Banda Aceh. Kondisi jalanan yang basah membuat sepeda motor yang dikendarai Khaidir berjalan lambat.
Sesampainya di Jembatan Pango, Khaidir berpapasan dengan seorang wanita yang mengarahkan pandangannya ke sungai di bawah jembatan. Karena melihat dari samping sehingga tidak jelas kelihatan apakah wanita ini masih berusia muda atau tua. Wanita tersebut tampak termenung di pinggir jembatan.
Khaidir berpikir siapa perempuan yang keluar di tengah malam buta seperti ini, apakah perempuan ini sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya. Khaidir yang penasaran kemudian memperlambat sembari memutar arah sepeda motor dan mencoba mendekati perempuan yang berdiri di trotoar di bahu kiri jembatan dari arah Lampineung.
Bermaksud menyapa dan menanyakan gerangan apa yang sedang dilakukan di jembatan di tengah hujan rintik-rintik pada malam buta, Khaidir langsung terkejut dan kembali menarik lengan yang menggenggam gas motor sekuatnya ke arah Lampineung kala sang perempuan menolehkan wajahnya ke arah Khaidir. Ia berkata “Muka perempuan itu rata, tidak ada hidung, tidak ada mata, pokoknya rata seperti triplek, ngeri kali (ekspresi sangat mengerikan dalam ucapan sehari-hari di Aceh)”.
Ada lagi cerita dari seorang bapak bernama Sulaiman. Ia tinggal di Lambaro Kabupaten Aceh Besar. Tengah malam ia melewati Jembatan Pango yang baru beroperasi. Tujuannya Kota Banda Aceh. Saat asyik melaju dengan sepeda motor, ia melihat seorang perempuan mengenakan pakaian serba putih berjalan di pinggir jembatan. Bapak Sulaiman berpikir ada apa gerangan seorang perempuan berani berada di tempat sepi dalam suasana gelap (kala itu lampu jalan belum teraliri arus listrik).
Ia bermaksud menghampiri perempuan tersebut. Namun, alangkah terkejutnya bapak Sulaiman kala sepeda motornya mulai merapat, ia mendapati perempuan berpakaian putih-putih itu terbang di atas kepalanya. Ia melengking, tubuhnya merinding, jantungnya berdegup kencang.
Seketika ia terhenyak dalam keheningan. Setelah sadar ia langsung lari terbirit-birit mengendarai sepeda motor. Tancap gas menuju rumah saudaranya. Malam itu ia nginap di sana karena tidak berani pulang ke Lambaro. Kalau pulang, rute terdekat ia harus kembali melalui Jembatan Pango. Barulah keesokan paginya ia pulang ke Lambaro, itupun melintasi jalur lingkar luar Kota Banda Aceh lewat Jalan Soekarno-Hatta di Lampeuneurut.
Menurut penerawangan gaib teman si penulis blog situs http://burongtujoh.blogspot.com, perempuan yang kerap terlihat di Jembatan Pango adalah arwah penasaran dari seorang gadis yang meninggal mengenaskan di masa konflik dulu. Kala itu sang gadis masih berusia 23 tahun, ia diculik dari sebuah desa kemudian dibawa ke pinggir sungai di dekat Jembatan Pango kini.
Gadis ini lalu diperkosa dan dibunuh setelahnya. Mayat sang gadis dibuang di bagian Krueng Aceh yang kini telah dibangun Jembatan Pango di atasnya. Dulunya daerah ini masih semak-semak dengan ilalang tinggi menutupi bahu sungai, di dekatnya ada kebun pisang yang kini masih ada.
Suasana mistis sempat saya alami saat berhenti di tengah jembatan untuk mengambil foto pemandangan sekitar. Tiba-tiba saja kamera saya terang dengan sendirinya seolah-olah sang penunggu mengizinkan saya untuk meliput kisah ini, padahal saya tidak mengaktifkan pengaturan terang otomatis.