Mohon tunggu...
Yopi Ilhamsyah
Yopi Ilhamsyah Mohon Tunggu... Dosen - Herinnering

Herinnering

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Perang: Taktik Lelembut Bikin Kembut (1)

11 Juni 2020   10:59 Diperbarui: 11 Juni 2020   11:04 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penampakan sesosok lelembut tentu menakuti kita. Strategi ini pula yang digunakan pejuang Aceh dalam menghadapi Belanda pada sebuah benteng di daerah Kutaraja, nama Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh pada masa kolonial. Kisah nyata ini dituturkan oleh opsir Belanda bernama Kapten J.P. Schoemaker yang dialihbahasakan ke dalam Bahasa Melayu oleh Letnan Satu H. Aars dalam buku berjudul "Tjerita-tjerita Negeri Atjeh". Buku setebal 73 halaman ini diterbitkan oleh G. Kolff dan Co. pada tahun 1897 di Batavia (Jakarta).

Saya memperoleh cetakan buku ini dalam bentuk PDF dari pustaka online Pusat Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda atau sering disingkat dengan KITLV milik Universitas Leiden Belanda. Bahasa Melayu dalam buku ini mirip dengan Bahasa Indonesia sekarang ini namun masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan (ejaan lama) bercampur dengan dengan beberapa istilah dalam Bahasa Belanda. Kendati demikian, kisah-kisah dalam buku ini masih dapat diikuti dengan baik.

Kisah mengenai lelembut menyerupai kuntilanak yang telah membuat kembut (istilah anak Medan untuk terkejut dan ketakutan) para tentara Belanda ini dikisahkan pada bab pertama buku tersebut mengambil judul "Tjerita dari Soewatu Setan".           

Kisah ini tidak memuat tahun kejadian hanya lokasi tempat penampakan lelembut yang menjadi taktik orang Aceh dalam menakuti tentara Belanda yang digambarkan dalam kisah ini. Lokasi tersebut berada di areal perkuburan di sekitar benteng Belanda yang berlokasi tidak jauh dari Kutaraja.

Kendati benteng ini dekat dengan Kutaraja namun diceritakan bahwa lokasi benteng tersebut cukup terkucilkan dengan letaknya yang berada di antara rawa-rawa serta kondisi penghuni yang cukup mengenaskan. Orang-orang yang tinggal di sana (mayoritas tentara dengan sejumlah keluarga) berwajah pucat dan kurus serta kurang tidur karena di malam hari dikerubungi nyamuk dan sering pula menderita sakit terutama terjangkit malaria. Benteng itu sendiri berkekuatan dua opsir (perwira) dengan seratus tentara.

Hanya ada satu jalan kecil untuk mencapai benteng tersebut. Sementara jarak dengan benteng lain sangat jauh. Benteng tersebut hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki karena mesti melewati hutan lebat selama 15 menit. Orang-orang yang pergi ke benteng itu biasanya karena dinas (Dienst dalam Bahasa Belanda) sembari membawa hantaran. Setelah keluar dari hutan akan dijumpai galangan. Di depan galangan terdapat kebun tebu yang telah ditinggalkan si empunya. Setelah melewati kebun tebu ini, barulah tiba di benteng. Di dekat benteng terdapat kuburan. Karena letak benteng yang terpencil, tak pelak pejuang Aceh menakut-nakuti tentara Belanda lewat penampakan hantu dari kuburan ini.  Diceritakan juga bahwa benteng ini rawan diserang pejuang Aceh sehingga bertugas di benteng ini harus ekstra hati-hati, seperti penuturan opsir Belanda penulis buku ini.

"Dienst di pos ini djoega soesah sekali, dan lagi membikin tjapej sekali pada orang-orang soldadoe. Kaloe orang kaloewar dari benteng, tentoe orang di pasang, kaloe tida di toebroek orang Atjeh. Seringkali djoega patroelie-patroelie soedah di boenoeh sama sekali dekat pada benteng ini."

Cerita penampakan lelembut bermula di suatu malam sekitar jam 12. Seorang opsir yang mendapat tugas jaga mendapat laporan bahwa seorang sekilwak (pengawal yang berjaga di depan benteng) di sebelah utara melihat seorang berpakaian putih di kuburan. Diceritakan bahwa sekilwak ini sangat takut. Dia mengaku benar-benar melihat sesosok hantu, kendati opsir berpangkat Letnan mengatakan bahwa yang dilihatnya mungkin sepotong kayu yang diduga orang mirip hantu. Namun, lagi-lagi sekilwak mengatakan bahwa dia tidak salah lihat. Dikisahkan penampakan lelembut berlangsung hingga empat malam berikutnya. Sang opsir penulis buku menyebut:

"Ampat malam lamanja bagitoe sadja. Lajin-lajin sekilwak mendapat lihat djoega orang pakej poetih di tempat koeboeran itoe, dan lagi selamanja kaloe kira-kira djam poekoel 12."         

Akibatnya, semua tentara menjadi sangat takut, sebagaimana ditulis Kapten Schoemaker dan Letnan Aars dalam buku mereka.

"Lama-lama soldadoe itoe mendjadi takoet samoenja. Tjobalah pikir, boekan boleh mendjadi soesah sekali nanti?" 

Oleh karenanya, opsir yang mengomandani benteng tersebut memerintahkan beberapa tentara untuk bersembunyi di areal kuburan. Setelah dua hingga tiga kali penyelidikan, lelembut tidak lagi muncul. Komandan memerintahkan agar menyediakan peluru kembang api di bastion demikian juga dengan penambahan personil di pos jaga yang mengelilingi benteng.

Jam 10 malam, opsir-opsir beserta para tentara mengintip. Suasana di luar benteng menjadi hening nan senyap. Tepat jam 12 malam, baru beberapa saat sekilwak membunyikan lonceng, terlihat penampakan lelembut berpakaian putih keluar dari tanah.

Peluru kembang api ditembakkan tepat di atas areal perkuburan sehingga suasana kuburan menjadi terang. Saat para tentara tengah bersiap seketika lelembut tersebut menghilang, hanya terdengar pekikan tawanya saja. Para tentara berseru "wah itu benar-benar hantu".

Keesokan harinya, ada satu tentara berpangkat sersan mohon izin menemui opsir komandan untuk menyelidiki persoalan lelembut yang sudah heboh di dalam benteng. Sersan ini juga minta izin untuk dapat keluar dari benteng selama 24 jam. Komandan menyetujui permintaan sersan ini. Dalam buku sang sersan berkata:

"ja, toewan kommandan, saja tida pertjaja itoe perkara setan; saja soedah lihat, itoe orang poetih selamanja kaloewar kaloe soedah di boenoeh lampoe di roemah djaga atjeh di sebelah sitoe. Kaloe toewan kommandan kasih permisie, ini malam saja maoe masoek di hoetan; saja maoe ngintip di dalam roemah djaga itoe; kaloe saja membawa revolver sama keris, saja tida takoet poentianak  atawa setan."     

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun