Mohon tunggu...
Yonathan Lu Walukati
Yonathan Lu Walukati Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemalas yang kadang suka menulis

Panggil saja Jo.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Golput Itu Apatis?

10 April 2019   22:06 Diperbarui: 10 April 2019   23:12 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Menurut data DPT Pemilu 2019 dari KPU, ada sekitar 17,501,278 pemilih muda berusia < 20 tahun, dan 42,843,792 pemilih berusia 21-30 tahun yang sudah memiliki hak suara di pemilu 2019 ini. Berbagai kampanye agar masyarakat tidak golput pun terus digaungkan, mulai dari ormas-ormas, para mahasiswa dan tentunya dari KPU sendiri selaku penyelenggara pemilu. 

Namun, meski kekuatan suara anak muda, yang katanya suara generasi milenial di pemilu tahun ini sangatlah banyak, fenomena golput tak dapat dihindari. Berbagai alasan untuk golput pun bertebaran dimedia media sosial. Adakah yang salah dari fenomena tersebut?

Sebenarnya, tidak ada yang salah jika seseorang golput ataupun tidak golput (memilih). Toh golput dan memilih juga merupakan suatu pilihan. Bedanya, seorang yang golput memilih untuk tidak memilih, sedangkan yang tidak golput memilih untuk menggunakan hak suaranya. Namun, karena perbedaan pandangan inilah tak jarang diantara kita ada yang beranggapan bahwa golput itu tidak benar. 

Golput itu tidak boleh dilakukan. Golput itu adalah pilihan yang salah. Dan golput itu apatislah, tidak demokratislah, dan berbagai alasan lain. Alibi mereka, para pemilih, mengatakan bahwa kita harus menggunakan hak suara kita. Karena apa? Karena dengan menggunakan hak pilih saat pemilihan baik itu pemilihan Kepala Daerah, DPR, DPRD, DPD maupun  Presiden dan Wakil Presiden, sama saja kamu juga memperjuangkan kepentingan umum, dan menentukan keberlangsungan masa depan Bangsa ini kedepannya.

Benarkah demikian? Ah tidak juga sebab, golput tidak semata-mata ekspresi apatis, antidemokrasi, atau alienasi terhadap politik dan negara. Sebenarnya keberadaan golput ini dapat menjadi tolok ukur bagi sistem elektoral politik di negeri ini. Semakin banyak yang golput,  maka legitimasi politik para calon akan semakin berkurang. Karenanya mereka akan mencari solusi atau perbaikan sistem menjadi lebih baik lagi. Sehingga rakyat akan terpikat untuk memilih mereka (lagi).

Sebagai seorang perantau, juga sebagai seorang warga negara yang baik, sebetulnya saya ingin sekali menyalurkan suara saya untuk memilih pemimpin "demi keberlangsungan masa depan bangsa". Sebab satu suara saya, "turut andil dalam mengubah nasib bangsa ini kedepannya". Karena itu, demi satu suara yang katanya sangat berharga ini, suara yang jauh (di luar negeri) dikejar-kejar. Sedangkan suara yang dekat (rantauan lintas provinsi) dibiarkan begitu saja. 

Memang, sudah ada mekanisme khusus bagi kasus rantau seperti kami ini agar dapat ikut merayakan pesta demokrasi di TPS terdekat tempat domisili saat ini. Tetapi untuk mengurusnya cukup ribet. Dan cukup menyita waktu. Apalagi demi satu suara (dalam kasus saya), kami harus menyoceh ratusan ribu bahkan jutaan rupiah hanya untuk mencoblos. Ah bodoh amat. Mending golput. Golput bukan berarti Memboikot Pemilu. Golput hanya tidak memilih saja.

Bukankah sejauh ini tidak ada dari para golputers yang mengkampanyekan permusuhan?, menyebarkan berita hoax? Saling bertikai karena beda pilihan? Malah fakta membuktikan bahwa para partisipan yang fanatik pada calon X atau calon Y cenderung mengkampanyekan permusuhan. Menurutku, justru golput adalah upaya untuk menyembunyikan diri dari pertikaian dan tenggang rasa antara kedua kubu. Entah ikut menyumbang untuk negara atau pun tidak, itu tidak bisa dinilai dari golputnya seseorang. Toh kemarin yang tertangkap oleh KPK bukan hasil dari golput kan?

Yang jadi pertanyaan adalah kenapa gerakan "say no to golput" semakin gencar dilakukan? Seberapa menakutkan golput itu untuk kita? Lalu, untuk apa sih golput itu dilakukan? Kamu pilih calon X atau pun calon Y, yah itu urusanmu. Kita ini Indonesia. Bukankah semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika? Lalu kenapa kalian memilih harus menolak golput sebagai perbedaan yang harus dilawan? Sekali lagi, golput bukanlah tindakan apatis.

Perlu diketahui bahwa golput pada masa orde baru dan masa reformasi itu sangat berbeda jauh. Golput pada masa orde baru merupakan sebuah bentuk perlawanan kepada penguasa saat itu. Sedangkan golput pada era reformasi ini esensinya adalah sebagai sebuah kampanye tentang ketidakpercayaan kepada calon pemimpin yang akan memimpin, kemudian menjadikan golput sebagai refleksi dari sebuah kekecewaan terhadap sistem yang gagal dibawa oleh para pemimpin akibat bobroknya kualitas pemimpin itu sendiri. 

Golput memanglah sebuah pilihan. Dan setiap orang mempunyai aspek demokrasi untuk mengambil pilihan itu. Oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik, melibatkan diri dalam agenda negara termasuk ikut berpartisipasi dalam pemilu harusnya menjadi sebuah kewajiban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun