Upaya Mencapai SDGs Bidang Ekonomi Peneliti Universitas Negeri Malang Mengungkap Praktik Kapitalisme Digital TikTok Shop
Dalam beberapa tahun terakhir, TikTok Shop semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda yang lebih banyak mengakses produk dan layanan melalui media sosial. Namun, di balik kemudahan berbelanja yang ditawarkan, model bisnis ini mencerminkan praktik kapitalisme digital yang mendalam. Tim Peneliti dari Universitas Negeri Malang, yang diketuai oleh Ani Suryani Ph.D. bersama timnya merespon fenomena ini dengan mengkaji praktik kapitalisme digital TikTok Shop ditinjau dari Marxian Class Theory (MCT) untuk mendukung SDGs 8 pilar ekonomi dan tenaga kerja.
Mengacu pada Marxian Class Theory, kapitalisme bertumpu pada pemisahan kelas berdasarkan kepemilikan alat produksi dan penguasaan akses pasar. TikTok Shop dianggap menciptakan dan mempertegas kelas-kelas ekonomi di mana pengusaha kecil terjebak dalam posisi subordinat di bawah dominasi platform yang menguasai akses pasar dan data. TikTok Shop, sebagai perwakilan kapital digital, mengendalikan dua aset penting dalam era ekonomi digital yaitu data dan platform. Dengan memanfaatkan data perilaku konsumen, TikTok Shop akan mengoptimalkan algoritma yang mempromosikan produk-produk dari perusahaan besar yang mampu membayar biaya iklan tinggi. Akibatnya, UMKM lokal yang modalnya terbatas sulit bersaing dalam menarik perhatian konsumen. Dampak dari praktik ini mulai terasa pada UMKM lokal di Indonesia, yang selama ini bergantung pada pemasaran digital murah dan organik untuk menjangkau konsumen. Dalam sistem kapitalisme digital, UMKM sering kali menjadi bagian dari kelas pekerja yang teralienasi, karena meski berkontribusi pada konten dan produk di platform, mereka tidak memiliki kendali atas akses pasar yang didikte oleh algoritma. Banyak pelaku UMKM mengeluhkan sulitnya mendapatkan pelanggan baru, terutama setelah TikTok Shop mulai memprioritaskan merek-merek besar dan internasional dalam kampanye promosi mereka.
Di era digitalisasi, pertarungan kelas baru muncul, bukan hanya antara buruh dan kapitalis, tetapi antara pelaku usaha kecil dan raksasa teknologi yang menguasai platform. Jika praktik kapitalisme digital ini tidak diimbangi oleh regulasi yang melindungi UMKM, bukan tidak mungkin akan terjadi monopoli pasar oleh korporasi besar, yang pada akhirnya dapat merugikan konsumen dan perekonomian lokal Indonesia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian kami yang menemukan bahwa sudah mulai muncul praktik kapitalisme digital yang secara terang-terangan ditunjukkan oleh TikTok. Beberapa penanda yang kami temukan di media seperti penggunaan kata monopoli, predatory pricing, shadow banning, dan politic dumping. Selain itu, muncul banyak tokoh pro dan kontra di media, menariknya adalah ditemukan tidak konsistennya pemerintah dalam merespon kehadiran TikTok Shop. Kami menganalisis bahwa ketidakkonsistenan pemerintah disebabkan oleh dilematis yang mendalam, entah karena tidak ingin kehilangan ladang investasi atau ingin melanggengkan praktik kapitalisme ini berlanjut dengan dalih menyelamatkan UMKM melalui ekosistem digital. Kami berpendapat bahwa pemerintah harus lebih tegas untuk menyelamatkan UMKM lokal dari belenggu kapitalisme digital ini. Pemerintah seharusnya berfokus pada sinergi antar lembaga kementerian untuk satu suara memperjuangkan hak UMKM lokal agar mereka dapat mempertahankan usahanya di tengah gempuran fasilitasi TikTok untuk menjual produk-produk impor yang harganya tidak masuk akal. Dengan lebih fokusnya pemerintah untuk memperbaiki ekosistem digital dan UMKM, kami yakin SDGs pilar 8 akan tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H