Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Uang Saku Gusuran untuk Personel TNI/Polri Merupakan Gratifikasi

13 Mei 2016   09:24 Diperbarui: 13 Mei 2016   09:47 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada dua kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang sangat menggelitik terkait proses penggusuran. Pertama soal perjanjian preman- demikian Ahok menyebut perjanjian penarikan kewajiban dari perusahaan swasta. Kedua, pemberian bantuan untuk personil TNI/Polri yang ikut terlibat dalam proses penertiban, termasuk penggusuran warga Kalijodo dan Pasar Ikan Luar Batang di Jakarta Utara.

Terungkapnya perjanjian preman dan uang bantuan untuk personil TNI/Polri yang membantu penggusuran, setelah sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan memo Ahok dan juga perjanjian terkait kewajiban pengembang pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Ada juga pengakuan Presiden Direktur PT Agusng Podomoro Land (APLN) Ariesman Widjaja kepada penyidik KPK terkait gelontoran dana Rp 6 miliar yang salah satunya digunakan untuk membiayai aparat yang melakukan penggusuran di Kalijodo. Meski pernyataan itu dibantah oleh jajaran direksi APLN, dan kebenarannya masih perlu dicross check kepada pihak-pihak terkait, namun dari situ akhirnya terbuka adanya aliran dana yang bersumber dari APBD DKI Jakarta kepada para personil TNI/Polri yang membantu proses penggusuran warga.

Terkait perjanjian preman- Ahok menganalogikan Pemprov DKI sebagai preman, yang tidak memiliki payung hukum, biarkan KPK yang bekerja dan menentukan apakah telah terjadi pelanggaran administrasi negara ataukah itu sebagai bagian dari inovasi seorang kepala daerah. Ingat, Pemprov Jakarta baru diganjar penghargaan sebagai Provinsi dengan Perencanaan Inovatif. Jadi sangat mungkin perjanjian itu termasuk salah satu yang dinilai inovatif. Terkait hal ini, mudah-mudahan penulis salah dalam memaknai inovatif yang dimaksud Bappenas.

Lalu bagaimana dengan pemberian bantuan dana untuk personel TNI/Polri yang membantu penggusuran di Jakarta? Apakah itu juga salah satu terobosan yang inovatif? Yang pasti, menurut Ahok, setiap personel TNI/Polri yang membantu proses penggusuran warga mendapat uang saku sebesar Rp 250.000. dana tersebut langsung ditransfer ke rekening para personel TNI/Polri. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga memberikan uang makan sebesar Rp 38.000 di mana uang tersebut secara global ditransfer ke kesatuannya. Menurut Ahok dana tersebut bukan berasal dari pengusaha, namun bersumber dari APBD DKI Jakarta.

Berapa total jumlah uang dari APBD DKI Jakarta yang digunakan untuk menggusur rakyat Jakarta? Sangat fantastis. Mari kita ambil contoh dalam proses penggusuran Kalijodo. Menurut Kapolda Metro Jaya (saat itu) Komjen Tito Karnavian, pihaknya mengerahkan 5.000 personel  gabungan TNI/Polri. Artinya 5.000 x 250.000 = 1.250.000.000,- Karena proses gusuran tersebut berlangsung sangat cepat yakni tiga hari maka masing-masing personel mendapat uang saku sebesar   Rp 750.000,- sehingga total dana bantuan yang dikeluarkan Pemprov DKI untuk memberi uang saku pada personel TNI/Polri dalam proses penggusuran Kalijodo mencapai  sebesar Rp 3.750.000.000,- Jumlah itu masih harus ditambah dengan uang makan sebesar 5.000 x Rp 38.000 x 3 = 570.000.000,-  Dengan demikian total jenderal anggaran untuk hadiah personel TNI/Polri yang membantu penggusuran Kalijodo sebesar Rp 4,3 miliar lebih.

Bagaimana payung hukumnya? Kembali kepada kebiasaan Ahok yang selalu inovatif dalam kebijakannya. Kali ini, pengeluaran itu pun tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Jika dasarnya hanya pergub, sementara tujuannya untuk memperkaya orang lain, jelas itu pelanggaran karena merupakan gratifikasi. Mari kita lihat definisi gratifikasi sesuai Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001:

Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.  

Lalu apakah TNI/Polri termasuk pihak yang dilarang menerima gratifikasi? Jawabnya : ya.  Sebab berdasarkan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan No. 20 tahun 2001, personel TNI/Polri termasuk penyelenggara negara yang wajib melaporkan gratifikasi.

Bagaimana jika personel TNI/Polri tidak mengembalikan gratifikasi yang diterimanya? Berlaku Pasal 12B ayat (2) UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Terkait peran TNI/Polri dalam proses penggusuran warga tentu akan menimbulkan perdebatan apakah yang dilakukannya bertentangan dengan kewajibannya. Sebab seseorang yang dikategorikan menerima gratifikasi adalah:

1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun