Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Menakar Kadar “Kesalahan” Ahok dan Buni Yani

6 November 2016   18:17 Diperbarui: 16 Juni 2017   14:53 14619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini muncul persepsi jika Umat Islam yang berdemo 4 November kemarin, adalah sekumpulan  manusia bodoh karena termakan fitnah Buni Yani. Basuki Tjahaja Purnama yang menjadi objek demo karena ucapannya yang diduga meninstakan agama, seolah ikut menggarisbawahi dengan mengatakan dirinya menjadi korban difitnah.

Dalam “pengakuan dosanya” Buni Yani mengatakan dirinya salah dalam melakukan transkrip ucapan Ahok dalam video tersebut yakni yang mestinya “dibohongi PAKAI surat Al Maidah” menjadi hanya “dibohongi surat Al Maidah”. Tapi menurut Buni Yani dan juga bukti yang ada, dia tidak pernah mengedit video tersebut. Buni Yani hanya melakukan  transkrip, mengunggahnya melalui akun facebook bersamaan dengan video yang sudah dipotong  durasinya namun tanpa mengubah isinya.  Hasil uji laboratorium forensik yang dilakukan Polda Metro Jaya menguatkan hal itu.

Lalu di mana salah Buni Yani sehingga bisa menjadi tersangka seperti dikatakan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar 

Bahkan Ahok mengaku siap dipenjara asal bukan karena fitnah (Buni Yani) seperti dikutip di sini.

Kesalahan pertama Buni Yani mentranskrip video pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu tidak sesuai dengan isinya. Kedua, menyebarkan transkrip yang berbeda dengan isinya tersebut melalui media sosial.

Lalu, apakah dengan fakta itu, Ahok lalu menjadi korban fitnah? Apakah umat Islam yang berdemo dan menduga Ahok telah melakukan penistaan terhadap kitab suci umat Islam, hanya mengedepankan emosi, hanya berdasarkan postingan Buni Yani tanpa berusaha mencari tahu tutur-kata Ahok yang sebenarnya?

Mari kita lihat satu persatu. Ucapan Ahok di Kepulauan Seribu saat memaparkan program kerjanya sambil mengutip Al Maidah 51, tidak berdiri sendiri. Dalam penjelasan yang diberikan setelah kasus tersebut ramai dibicarakan orang  Ahok melakukan “klarifikasi” dengan mengatakan dirinya sekolah Islam 9 tahun dan surat Al Maidah Ayat 51 berisi tentang larangan Muslim untuk  berteman dengan Yahudi dan Kristen, bukan larangan untuk memilih pemimpin. Ingat Ahok menafsirkan Al Maidah 51 sebagai larangan berteman, bukan larangan memilih pemimpin. Saat itu Ahok masih keukeuh mengatakan dirinya tidak bersalah. Silahkan baca di sini.

Dalam banyak tafsir, ada satu kata yang dimaknai berbeda yakni “auliya” atau “awliya”. Ada yang menyebutnya sebagai “teman dekat”, namun lebih banyak lagi yang mengartikannya sebagai “pemimpin”. Menurut  Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kemenag, Muchlis M Hanafi kata awliya di dalam Alquran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya. Merujuk pada Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama edisi revisi 1998 - 2002, pada QS. Ali Imran/3: 28, QS. Al-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata awliyâ diterjemahkan dengan 'pemimpin'. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan 'teman setia'. Pada QS. Al-Taubah/9: 23 dimaknai dengan 'pelindung', dan pada QS. Al-Nisa/4: 89 diterjemahkan dengan 'teman-teman'. (Selengkapnya)

Dari pemaparan itu, jelaslah, jika kata Awliya memiliki banyak makna sesuai konteksnya. Tidaklah salah jika ada ulama yang mengatakan awliya atau auliya adalah pemimpin manakala konteks berbicaranya terkait soal kepemimpinan. Tidaklah berbohong manakala ada ulama meminta agar umatnya memilih pemimpin yang sesuai dengan anjuran dalam surat Al Maidah 51.   

Lalu mengapa Ahok menyimpulkan kata “awliya” atau “auliya” dalam Al Maidah 51 sebagai larangan untuk berteman, bukan memilih pemimpin, sementara konteks pembicaraan saat itu tentang pemilihan kepala daerah? Mengapa Ahok mengatakan ulama berbohong- ketika menyerukan kepada umatnya agar jangan memilih pemimpin non Muslim sesuai Al Maidah 51? Mengapa Ahok berani menafsirkan kitab suci umat Muslim, sedangkan dirinya bukan Muslim? Mengapa Ahok berani mengatakan Al Maidah 51 dipakai untuk membohongi padahal arti auliya atau awliya di dalam surat tersebut bisa saja pemimpin, bisa saja teman karib? Sebagai analoginya: jika Badu suka apel, anggur dan jeruk, apakah bohong ketika ada yang mengatakan Badu suka anggur?

Dalam kasus ini Ahok telah menafsirkan kitab suci yang tidak diimaninya untuk kepentingan politik dan menuduh ulama Muslim yang mengatakan Al Maidah sebagai larangan Muslim untuk memilih pemimpin non Muslim, telah berbohong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun