Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jangan Cabut Subsidi Listrik!

1 Desember 2015   08:34 Diperbarui: 1 Januari 2016   13:46 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - subsidi listrik dicabut. (kontan.co.id)

Kebijakan pemerintah untuk menyerahkan harga bahan bakar minyak  (BBM) kepada mekanisme pasar, tidak terlalu menimbulkan dampak berarti baik secara ekonomi maupun politik. Meski terjadi lonjakan harga-harga kebutuhan pokok, namun dengan tambahan dana sebesar Rp 200 triliun yang berasal dari penghematan anggaran subsidi BBM, pemerintah bisa menutup sektor kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Artinya, masyarakat kecil mengeluarkan biaya sedikit lebih besar untuk kebutuhan pokok namun tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pendidikan dan kesehatan.

Namun kini pemerintah memutuskan mulai Desember subsidi listrik untuk pelanggan dengan daya 1.300 VoltAmpere (VA) dan 2.200 VA dicabut. Sementara untuk pelanggan 450 VA dan 900 masih mendapat subsidi setelah sebelumnya juga diwacanakan akan dicabut. Sebagai gantinya pemerintah akan memberikan subsidi langsung kepada pelanggan yang benar-benar membutuhkan. Pemerintah beralasan, dengan harga subsidi sekarang ini masyarakat menjadi boros dalam pemakaian strum mulai dari peralatan elektronik, perlengkapan rumah tangga, penerangan dan sebagainya.

Berbeda dengan BBM, pencabutan subsidi 1.300 VA dan 2.200 VA wajib kita tolak. Apalagi untuk pelanggan dengan daya 450 VA dan 900 VA. Kebijakan itu sangat tidak tepat dan cenderung hanya jalan pintas untuk mengatasi persoalan listrik. Alasan bahwa pengguna listrik 900 VA, 1.300 VA dan 2.200 VA adalah masyarakat golongan menengah, sangat tidak realistis. Saat ini, masyarakat di lapisan paling bawah pun menggunakan listrik dengan daya di atas 450 VA. Apakah masih ada di antara Kompasianer yang menjadi pelanggan listrik berdaya 450 VA?

Hal itu berbeda dengan BBM di mana memang faktanya pengguna BBM terbesar adalah warga kelas menengah ke atas. Menggunakan alasan yang sama untuk pencabutan subsidi dua komponen berbeda yakni listrik dan BBM, sangat tidak tepat dan cenderung hanya pembodohan.

Alasan penghematan anggaran juga sepenuhnya tidak tepat. Subsidi listrik per tahun ‘hanya’ Rp 73 triliun. Bandingkan dengan subsidi BBM yang mencapai Rp 200 triliun.  Dengan APBN sebesar Rp  2.000 triliun, angka Rp 73 triliun bukanlah sesuatu yang sangat besar dibanding ongkos  sosialnya jika pemerintah tetap memaksakan diri mencabut subsidi listrik. Lebih dari itu, keberpihakan negara kepada rakyat kecil juga harus dikedepankan karena seperti disinggung di atas, listrik berkaitan langsung dengan masyarakat paling bawah. 

Solusi yang ditawarkan pemerintah untuk memberikan subsidi listrik secara langsung kepada masyarakat miskin – di mana uang subsidi akan diberikan langsung kepada perorangan yang berhak, bukan kepada PLN seperti  yang berlaku selama ini- sangat rentan diselewengkan sehingga belum tentu akan tepat sasaran sebagaimana dalam kasus BLT, Raskin dan Jamkes.         

Kita setuju dengan penghematan dan pengalihan anggaran dari yang tidak produktif menjadi produktif. Tetapi pemerintah juga harus mencari cara yang lebih berkeadilan. Model subsidi silang sebagai berlaku selama ini di mana pemakai daya listrik 2.200 VA ke atas dikenakan tarif normal (non subsidi) merupakan cara yang tepat. Jika pun tetap akan dilakukan penghematan sekaligus mendorong masyarakat agar hemat listrik, pemerintah bisa menggunakan model tarif progresif di mana jatah listrik untuk pelanggan 900 VA sampai 2.200 VA diberi batasan (kuota). Jika penggunaan listrik lebih besar dari kuota, maka kelebihan daya yang digunakan dikenakan tarif non subsidi.

Efisiensi kinerja PLN juga perlu dijadikan hal utama sebelum sampai pada kesimpulan untuk mencabut subsidi. Jika PLN bisa lebih efisien dengan menekan ongkos produksi sehingga harga jual strumnya rendah, tentu dengan sendirinya sudah bisa menekan angka subsidi. Jangan sampai hanya karena ketidakefisienan kinerja PLN, rakyat yang harus dijadikan korban.  

Jangan sampai negeri ini hanya dimiliki oleh orang-orang kaya. Negara harus hadir dan bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat. Para pemangku kebijakan harus mengedepankan azas keadilan dalam mengelola negeri ini, bukan azas ambil untung.  Tidak terbayangkan, jika suatu saat, listrik akan menjadi barang mewah sehingga masyarakat kecil dipaksa untuk hidup dalam kegelapan sementara si kaya bermandikan cahaya. @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun