Memalukan! Satu kata itu terpaksa kita sematkan terkait rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab alasan yang dijadikan dasar revisi karena MK sering membatalkan produk hukum yang dibuat oleh DPR.
Salah satu produk hukum DPR bersama pemerintah yang dibatalkan oleh MK adalah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam putusan judicial review yang dibacakan tanggal 25 November 2021, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat  karena dianggap cacat formal dan cacat prosedur.
Jika dalam waktu 2 tahun tidak dilakukan revisi, maka sesuai putusan MK, Omnibus Law Cipta Kerja itu batal demi hukum alias tidak berlaku. Seperti diketahui Presiden Joko Widodo kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 pada tanggal 30 Desember 2022.
Perppu yang menganulir putusan MK tersebut menuai kontroversi karena Presiden dianggap tidak taat dan patuh terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat (binding). Pemerintah pun membantah dengan mengatakan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 justru mengikuti putusan MK terutama terkait upah minimum dan pekerja alih daya (kontrak).
Rupanya bukan hanya Istana yang memilih by pass dalam menyikapi putusan MK. Reaksi DPR lebih dasyat lagi.
Menurut  Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, keinginan untuk merevisi UU MK didorong kinerja MK yang sering membatalkan UU yang dibuat DPR di mana salah satunya adalah UU Cipta Kerja. Â
"DPR malu kalau UU di-judicial review kemudian dibatalkan," kata Pacul, sapaan akrab Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP itu.
Dengan revisi tersebut, Pacul berharap MK lebih fokus sebagai penerjemah Undang-Undang Dasar 1945 ketika disandingkan dengan UU. Selain itu, Pacul menilai terdapat kasus hakim MK yang tidak melaksanakan tugasnya sehingga harus dievaluasi.
MK sendiri sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Terbaru, terjadinya perubahan isi putusan MK dalam perkara Nomor 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Frasa yang diubah yakni "dengan demikian ..." yang  dibacakan dalam sidang, diubah menjadi "ke depan ...".  Perubahan ini sangat signifikan karena yang seharusnya berlaku saat ini menjadi berlaku di masa mendatang.  Alhasil 9 hakim MK dan dua orang panitera pun dilaporkan ke polisi.