Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mencari Lalat Politik yang Dimaksud Moeldoko

12 Juli 2021   17:51 Diperbarui: 13 Juli 2021   00:57 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala KSP Moeldoko. Foto: kompas.com

Kita sangat menyayangkan pernyataan Moeldoko. Siapa pun pihak yang dimaksud sebagai lalat politik, hal itu tidak semestinya diucapkan dalam konteks pejabat negara. Ada sebagian masyarakat yang telah jenuh dan lelah dengan berbagai aturan tanpa tahu kapan kondisi ini akan berakhir. Wajar jika mereka kritis terhadap para pengambil kebijakan karena kondisi saat ini benar-benar menyusahkan sebagian besar masyarakat.

Mestinya para pejabat tidak ikut-ikutan memproduksi narasi seperti yang dikecamnya. Pejabat yang digaji duit rakyat cukup menjawab dengan kinerja. Jika kinerja pemerintah bagus dan mencerminkan keadilan, berbanding lurus dengan fakta di lapangan, pasti juga akan menuai pujian.

Jangan meminta masyarakat menghentikan kritik karena sedang pandemi, tetapi lahir kebijakan-kebijakan yang mencederai  rasa keadilan. Menyelenggarakan vaksin berbayar adalah bentuk pengingkaran paling telanjang terhadap rasa keadilan.

Jangan berdalih vaksin berbayar hanya untuk golongan berduit, yang tidak mau antri dan enggan berpanas-panasan. Sebab justru di situ esensi ketidakadilannya. Mereka yang punya duit dimanjakan dengan fasilitas vaksin yang cepat, tanpa antri, di ruangan sejuk. Masyarakat miskin dipaksa vaksin di stadion.

Mengapa tidak dibalik cara berpikirnya, bahwa vaksin tanggungjawab negara karena pandemi sudah dinyatakan sebagai bencana nasional non alam. Oleh karenanya beri pelayanan yang mudah dan cepat kepada seluruh warga bangsa tanpa melihat apakah dia kaya, miskin, cantik, kumuh atau bodoh.      

Ini mengelola negara, Bung,   di mana ruhnya adalah keadilan, bukan profit. Sungguh tidak elok di tengah pandemi yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, lebih khusus masyarakat kecil, negara mau berbisnis.

Benar sekali, semua orang berhak berbisnis. Tetapi di mana logika kemanusiaannya jika bisnis itu dengan cara memanfaatkan pandemi yang menyusahkan masyarakat dan "kekeliruan" kebijakan?

Kita sudah mengurut dada melihat ada proyek yang terus dibiarkan, bahkan mendatangkan tenaga kerja dari luar, sementara pada saat yang sama, sebagian besar pekerja disuruh di rumah. Sebagian besar usaha ditutup. Jangan sampai embel-embel strategis nasional dimanfaatkan untuk tujuan berbeda karena di dalamnya ada kepentingan swasta atau pejabat tertentu.

Persoalan saat ini bukan lagi soal strategis atau tidak, bukan soal jumlahnya banyak atau sedikit, bukan masalah terampil atau tidak terampil. Ini soal perut dan rasa keadilan.

Jika memang harus menderita, menderitalah semua. Jangan ada pengecualian atas nama apa pun. Jangan tumpangi kebijakan dengan kepentingan satu dua orang. Dengan demikian akan lahir solidaritas kolektif atas nama kebersamaan.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun