Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

UU Pemilu dan Tukang Ketuk Palu Kebijakan Eksekutif

14 Februari 2021   10:45 Diperbarui: 15 Februari 2021   06:22 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rapat paripurna DPR. Foto: kompas.com/TSARINA MAHARANI

Demokrasi yang kuat adalah ketika seluruh komponen trias politica berfungsi dengan baik sesuai kedudukannya. Saat legislatif hanya difungsikan sebagai tukang ketuk palu kebijakan eksekutif, maka sesungguhnya demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja.

Kemandirian DPR RI kembali menuai pertanyaan tajam karena terkesan kembali memposisikan diri sebagai pembeo kebijakan pemerintah tanpa reserve. Ada beberapa peristiwa yang dapat dijadikan rujukan hingga memunculkan kesan demikian itu.

Pertama ketika mayoritas anggota DPR "begitu mudah" mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19, menjadi UU.

Padahal Perppu tersebut mengebiri fungsi pengawasan DPR sekaligus memberikan kewenangan sangat luas kepada eksekutif untuk menggunakan anggaran negara tanpa harus meminta persetujuan DPR.

Perppu Nomor 1/2020 juga memberikan hak imunitas kepada  pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat 2 dan 3 di mana pejabat yang melaksanakan Perppu Nomor 1/2020 tidak dapat dituntut secara hukum.

Padahal fakta menunjukkan, pengelolaan anggaran Covid-19 tidak selalu steril dari korupsi sebagaimana yang terjadi di Kementerian Sosial era Juliari Batubara. Uang bantuam sosial untuk warga miskin terdampak pandemi dijadikan bancakan politisi dan penyelenggara negara.

Kedua, pengesahan omnibus law Cipta Kerja. Mayoritas anggota DPR dengan semangat juang tinggi menjadi bemper eksekutif yang ingin RUU Cipta Kerja segera disahkan. Gelombang penolakan dan demonstrasi berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, diabaikan.

Bukan hanya "menulikan diri" dari aspirasi, DPR tanpa malu-malu mengerjakan pembahasan omnibus law Cipta Kerja dengan metode kejar target dan super kilat. Bisa ditebak, hasilnya pun acakadut sehingga harus beberapa kali revisi pasca pengesahan.

Ketiga, revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Awalnya mayoritas fraksi DPR sepakat untuk melakukan pembahasan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada

Salah satu poin utama yang akan dibahas adalah terkait pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 yang oleh aturan sebelumnya akan dilaksanakan serentak tahun 2024.  

Partai Golkar dan Nasdem termasuk yang setuju agar pilkada tetap dilaksanakan sesuai masa habis jabatan kepala daerah sehingga revisi UU pemilu menjadi prioritas DPR dan telah disetujui masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas).

Namun setelah Presiden Joko Widodo meminta agar pertai-partai mengkaji ulang rencana pembahasan UU Pemilu, terutama Pilkada 2022 dan 2023 karena masih pandemi Covid-19, Golkar dan Nasdem balik arah. Demikian juga Partai Gerindra yang semula masih wait and see langsung menyatakan penolakan. 

Pandemi Covid-19 mestinya tidak dijadikan alasan untuk menolak Pilkada 2022 dan 2023 karena kita sudah punya contoh di mana pemerintah ngotot melaksanakan Pilkada 2020 saat pandemi sedang memuncak.  

Justru ada alasan lebih kuat untuk tetap melaksanakan Pilkada 2022 dan 2023 karena saat ini sudah ada program vaksinasi yang menurut target pemerintah selesai dalam setahun.

Alasan lainnya, pada tahun 2022 ada 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya, termasuk DKI Jakarta. Sedang di tahun 2023, 171 kepala daerah mengakhiri masa baktinya. Jika pilkada 2022 dan 2023 dihilangkan, maka akan ada 272 daerah yang dipimpin pejabat sementara yang tidak dipilih rakyat.  

Terbuka kemungkinan, pengisi jabatan kepala daerah merupakan pegawai pemerintah yang memiliki loyalitas kepada partai tertentu meski secara normatif aparatur sipil negara (ASN) dilarang berpolitik.

Ini bukan kecurigaan berlebihan, namun bentuk kekuatiran karena penunjukan pejabat kepala daerah tidak melalui kompetisi melainkan dawuh pimpinan. Apesnya, mereka akan menjabat selama 1-2 tahun hingga Pemilu dan Pilpres 2024.

Mengapa fraksi-fraksi besar di DPR tiba-tiba mengekor kemauan pemerintah? Ini aneh. Beda hal jika sejak awal sudah menolak. Kita pun akan menghargai sikap politiknya. Tetapi jika karena "arahan" eksekutif, tentu sangat memp;rihatinkan karena berpotensi mencederai kemandirian DPR.

Kita berharap DPR tidak mengulang sejarah kelam ketika diposisikan hanya sebagai tukang ketuk palu eksekutif. Meski kita pun menolak DPR mengatur eksekutif. Kita ingin semua lembaga negara berperan sesuai tugas dan fungsinya tanpa satu pihak menjadi superbody.

Masih ada waktu bagi DPR untuk kembali ke fitrahnya. Setelah melewati masa reses, kita berharap rapat paripurna DPR Maret mendatang membawa angin segar bagi tegaknya demokrasi yang sehat.  

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun