Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Akankah Papua Membangkang?

25 Maret 2020   09:51 Diperbarui: 25 Maret 2020   10:46 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukas Enembe. Foto: KOMPAS.com/Dhias Suwandi

Upaya daerah melakukan pembatasan kunjungan bagi warga luar terkait pandemi virus korona atau Coivid-19 terdengar sayup-sayup dari Pemerintah Provinsi Papua. Salah satu opsi yang sedang dikaji adalah menutup wilayahnya selama 14 hari.

Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan rakyat Papua harus dilindungi.  Oleh karenanya, sesuai hasil rapat dengan Forkominda, akan segera diumumkan keputusan apakah melakukan lockdown, pembatasan, atau lainnya.

Opsi pembatasan, terlebih penutupan, wilayah  yang diwacanakan Papua, menuai reaksi keras dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Mantan Kapolri ini mengingatkan, kebijakan pembatasan hanya sebatas berkumpul dalam jumlah banyak, bukan penutupan arus transportasi orang maupun barang.

Ini bukan pertama kalinya daerah mengeluarkan pernyataan yang dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk mengkarantina wilayahnya atau lockdown. Dari Semarang dan Blitar juga sempat berhembus wacana demikian, namun kemudian dibantah.

Bahkan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi sudah menyeru akan melarang warga Jakarta masuk ke daerahnya jika kasus Covid-19 di Ibu Kota terus meningkat.

Namun Papua boleh jadi akan berbeda. Lukas Enembe sempat beberapa kali membuat pernyataan kontroversial yang tidak sejalan dengan "kemauan" pemerintah pusat. Salah satunya terkait penarikan pasukan TNI dari Papua, terutama Kabupaten Nduga, Desember 2018 lalu. Alasannya agar masyarakat merasa aman selama perayaan Natal dan Tahun Baru 2019.

Pernyataan tersebut menuai reaksi keras dari sejumlah pihak, termasuk Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko. Menurut mantan Panglima TNI ini, usulan Lukas Enembe tidak tepat karena kehadiran tentara di lapangan justru untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Jika Papua menutup diri, bukan hanya melawan perintah Presiden Joko Widodo yang melarang daerah melakukan lockdown karena keputusan terkait hal itu menjadi kewenangan pemerintah pusat, namun juga dapat menjadi trigger daerah untuk melakukan hal serupa.

Hal itu terkait semakin masifnya penyebaran Covid-19. Hingga Selasa (24/3) kemarin, tercatat sudah 24 daerah yang terjangkit virus korona. Sementara jumlah pasien yang positif mengidap Covid-19 mencapai 686 orang di mana 30 dinyatakan sembuh dan 55 lainnya meninggal dunia.

Tiga kepala daerah juga sudah terkonfirmasi terinfeksi virus korona yakni Wali Kota Bogor Bima Arya, Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana dan Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana. Untuk pejabat publik di pusat, sudah ada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari dan anggotanya Ninik Rahayu.

Baca juga : Berapa Lama Lagi Kita Harus Diam di Rumah?

Jika kemudian sejumlah daerah melakukan karantina wilayah, ada dua kemungkinan yang akan terjadi.  

Pertama, Presiden Jokowi melonggarkan kewenangan lockdown dan mendelegasikannya kepada pemerintah daerah. Hal itu sama seperti ketika pemerintah pusat  akhirnya memberikan restu setelah sejumlah daerah yang diawali dari Solo dan Jakarta, melakukan penutupan tempat umum, terutama sekolah dan wisata.

Presiden Jokowi sempat memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk menentukan status daerahnya, namun sehari kemudian ada penjelasan jika karantina wilayah menjadi kewenangan pusat. Bahkan Mendagri Tito sampai  melakukan kunjungan ke daerah untuk memastikan tidak ada daerah yang mengambil keputusan lockdown yang memang dimungkinkan dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Kedua, Mendagri Tito akan membatalkan keputusan lockdown yang diambil daerah. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan kewibawaan pemerintah pusat (baca: presiden). Andai ini yang terjadi, maka akan ada ketegangan pusat dengan (sejumlah) pemerintah daerah. Imbasnya tentu hanya akan menyengsarakan rakyat di daerah tersebut.  

Apakah tidak mungkin pusat mengambil-alih dengan pernyataan lockdown secara nasional? Sangat mungkin, dengan catatan  daerah tidak mengumumkan terlebih dahulu. Cukup beberapa daerah mengeluarkan statemen keras dan seirama sehingga mendapat perhatian dari pemerintah pusat.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun