Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Pohon Menangis hingga Kerajaan Halu, Fenomena Apakah Ini?

19 Januari 2020   23:15 Diperbarui: 21 Januari 2020   14:05 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang-orang menadahkan tangan untuk menampung "air mata" pohon. Foto: Tribunnews.com

Belum usai geger pohon mengeluarkan air mata, muncul fenomena serupa yakni pohon menangis.

Konon setiap malam pohon yang ditanam di halaman masjid Petukangan, Wiradesa, Kabupaten Pekalongan itu mengeluarkan "air mata". Sementara pohon di Dusun Krajan, Desa Mojosari, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, mengeluarkan tangisan nan menyayat.

Jika pohon rambutan di Pekalongan hanya mengeluarkan "air mata", maka pohon akasia di Jember mengeluarkan suara mirip tangisan bayi. Warga yang penasaran pun mendatangi pohon-pohon itu dan mencoba mendengarkan tangisan atau sekedar mendapatkan air matanya.

Fenomena atau pertanda apakah ini?

Terlebih saat ini masyarakat tengah digegerkan dengan kemunculan atau setidaknya klaim pihak-pihak yang mengaku sebagai keturunan raja zaman dahulu. 

Mereka lantas mengukuhkan diri sebagai raja penerus Keraton Agung Sejagat di Purworejo,  Kerajaan Jipang di Blora, Kasultanan Pajang di Sukoharjo, Kasultanan Selaco di Tasikmalaya hingga Sunda Empire yang mengklaim beranggotakan 54 negara dengan pusat di Bandung.

Secara umum, sangat mungkin kemunculan fenomena tersebut berkaitan dengan kondisi sosial politik saat ini. SebagaI katarsis dari ketidakberdayaan, keputusasaan masyarakat menghadapi berbagai persoalan.  

Biasanya, orang-orang berhalusinasi pada sesuatu yang dianggap dapat membebaskan dirinya dari kesulitan akibat himpitan ekonomi atau hal-hal lainnya. 

Dapat juga karena ingin eksis dan mendapat pengakuan dari masyarakat secara cepat sebagai seseorang yang memiliki kedudukan dan pengaruh.

Klaim diri sebagai keturunan raja-raja di masa lalu, adalah jalan paling mudah karena kerajaannya telah punah dan banyak di antaranya tidak diketahui keturunannya. 

Ketika muncul seseorang yang mengaku sebagai keturunannya, sulit juga untuk dibantah. Sebab untuk menyanggah juga dibutuhkan bukti sejarah baik tertulis, sekedar catatan atau jejak lain yang lebih dipercaya.

Apalagi jika klaimnya sebagai generasi kesekian, seperti yang dilakukan Raden Patra Kusumah VIII alias Rohidin yang mengaku keturunan ke-9 dari Raja Surawasesa. Sangat sulit untuk mengetahui secara lengkap keturunan Raja Pakuan Pajajaran pengganti Prabu Sri Baduga Maharaja yang tersohor, tersebut.

Yang perlu diwaspadai, jika klaim-klaim sebagai keturunan raja di masa lalu, atau juga fenomena pohon menangis, tidak mendapat jalan keluar yang bijak. Gumpalan kekecewaan dan frustasi yang tersumbat dapat menjadi ledakan sosial tak terkendali.

Sikap represif atau cap sebagai pengganggu ketertiban umum sehingga dilarang, tidak akan menyelesaikan masalah. Terkecuali bagi mereka melakukan penipuan atau tidak mau mematuhi aturan yang ada.

Jika hanya ekspresi masyarakat, berikan ruang sekaligus pemahaman yang benar. Sebab masyarakat yang frustasi hingga percaya pada hal-hal irasional, tidak bisa "ditumpas" dengan pendekatan hukum.

Mungkin pemimpinnya bisa ditangkap dan dipenjara, tetapi halusinasi masyarakat terhadap hal-hal yang dapat membebaskan dirinya dari belenggu kesulitan saat ini, tetap akan tumbuh selama tidak ada upaya serius untuk memperbaiki keadaan yang ada, selama kondisi sosial politik dan ekonomi menjauhkan mereka dari harapan yang lebih rasional.

Fenomena irasional yang tumbuh di tengah masyarakat, bukan hal baru dan bukan hanya ada di Indonesia. Meski antara satu peristiwa dengan peristiwa lainya berbeda-beda, terpisah oleh jarak waktu dan ruang, tetapi ada satu kesamaan yakni hilangnya tokoh panutan baik dalam lingkup kecil, semisal desa, maupun secara nasional.

Kehidupan menjadi kering, relasi sosial tergerus karena hanya diisi- dipenuhi, jargon-jargon menakutkan. 

Masyarakat tidak lagi bebas mengekspresikan diri karena labelisasi negatif hingga hujatan, dengan mudah disematkan kala ekspresinya dianggap tidak sejalan dengan keinginannya.

Semua terpolarisasi dalam sekat politik. Hubungan kekerabatan, juga pertemanan ditentukan oleh pandangan politik. Mereka yang berbeda dianggap lawan dan boleh "dihabisi" dengan cara apa pun, dari hoaks sampai bully.

Sebagian kecil masyarakat yang tidak memiliki akses ke pusat ekonomi dan kekuasaan, kemudian mencari cara untuk mengaktualisasikan diri secara senyap, dalam sunyi, di ruang-ruang privat. Kondisi demikian lantas "dimanfaatkan" oleh orang-orang yang mencari untung.

Bukankah para punggawa kerajaan palsu, juga warga sekitar pohon menangis, mendapat "berkah" atas munculnya fenomena demikian itu?

Jangan salahkan mereka yang berebut "air mata" pohon, membeli "sabda" raja yang lahir dari delusi, dari halusinasi.

Kecamlah mereka yang memanfaatkan "kebingungan" masyarakat. Kritiklah mereka yang turut menjadi penyebab terjadinya fenomena-fenomena irasional di tengah masyarakat.

Kecamlah para politikus dan mesin politik yang terus menebar ketakutan, permusuhan dan seenaknya melontar kata, tulisan, tanpa tanggung jawab, hanya demi memuaskan kedengkian hati dan tepuk sorak golongannya.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun