Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Tandukan PDIP Pasca OTT KPK

16 Januari 2020   11:43 Diperbarui: 16 Januari 2020   11:54 1580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi logo PDIP. Sumber: tribunnews.com

Seperti diulas sebelumnya, KPK benar-benar menghadapi perlawanan berat terkait operasi tangkap tangan terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Pokok utamanya tentu karena keberadaan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan dugaan keterlibatan pengurus PDIP.

Perlawanan yang dilakukan PDIP cukup terstruktur dan masif karena tidak hanya melalui jalur jalur, namun juga politik. Tim hukum yang dibentuk secara khusus diketuai para pendekar hukum seperti I Wayan Sudirta sebagai ketua dan Maqdir Ismail sebagai salah satu anggota. Ada juga Teguh Samudera sebagaia koordinator.  

Lebih gahar lagi karena tim itu di bawah pengawasan langsung Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Yasonna Laoly yang juga Menteri  Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Maju.

Pembentukan tim hukum dimaksudkan untuk menghadapi framing terkait OTT KPK yang juga menjerat kader PDIP Harun Masiku dan Agustiani Tio Fridelina.  Bahkan PDIP sudah mengeluarkan ancaman hendak mengadukan sejumlah media ke Dewan Pers.

Terhadap KPK, PDIP menyoal legalitas OTT karena surat perintah dimulai penyidikan (sprindik) ditandatangani oleh pimpinan KPK yang lama tertanggal 20 Desember 2019. Teguh Samudera mengatakan, penggunaan spindik lama di bawah kepemimpinan KPK yang baru tidak sah karena bertentang dengan UU KPK hasil revisi.

Terkait upaya pemasangan police line, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai upaya penggeledahan, terhadap beberapa ruangan di kantor DPP PDIP usai OTT, juga dipersoalkan karena tidak dilengkapi surat izin Dewan Pengawas.

Perlawanan PDIP tidak hanya sampai di situ. Masinton Psaribu, kadernya di Senayan, sempat memamerkan sprindik yang menjadi dasar OTT terhadap komisoner KPU dan kadernya, di acara Indonesia Lawyer Club . Menurut Masinton, karena bertanggal 20 Desember dan ditandatangani pimpinan KPK yang lama padahal UU KPK yang baru berlaku sejak 19 Desember maka OTT KPK tidak sah.  

Rapat kerja nasional PDIP juga merekomendasikan agar sistem Pemilu yang menganut azas proporsional terbuka di mana caleg dengan perolehan suara tertinggi otomatis menjadi pemenang di daerah pemilihan (dapil) bersangkutan, menjadi proporsional daftar tertutup sehingga partai yang berhak menentukan peruntukan kursi yang diperoleh dari dapil.

Tulisan terkait : Rekomendasi PDIP Dorong Demokrasi kembali ke Orde Baru

Rekomendasi tersebut menjadi menarik, bukan saja akan menegakan oligarkhi dan mengembalikan ke sistem di masa orde baru, namun juga karena OTT KPK terhadap Wahyu terkait proses pengisian kursi DPR milik caleg terpilih Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia sebelum dilantik.

PDIP menghendaki Harun Masiku sebagai penggantinya. Namun sesuai UU Pemilu, dan Peraturan KPU, kursi tersebut milik Riezky Aprilia sebagai pemilik suara terbanyak setelah Nazarudin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun