Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Rivalitas Airlangga-Muhaimin Pengaruhi Komposisi Kabinet

13 Juli 2019   09:36 Diperbarui: 13 Juli 2019   09:50 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar. Foto : Ist

Rebutan kursi kabinet antar partai koalisi pengusung Joko Widodo -- Ma'ruf Amin mungkin tidak akan sampai meretakkan hubungan karena ada hak prerogatif presiden. Tetapi tidak demikian halnya dengan kursi ketua MPR. Pertarungan antara Golkar dengan PKB, dan potensi Nasdem untuk merecoki, membutuhkan formulasi tepat yang ujungnya sangat mungkin mengorbankan komposisi kabinet.

Ketika melakukan Sosialisasi Muktamar PKB di Hotel Patra Semarang, Selasa kemarin, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar kembali menuturkan keinginannya untuk menduduki kursi ketua MPR. Bahkan Cak Imin secara tegas mengatakan tidak tertarik masuk ke kabinet dengan alasan sudah pernah mengabdi di eksekutif.

Muhaimin memang pernah menjadi Menteri Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namanya sempat dikaitkan dengan kasus "kardus durian" berisi uang senilai Rp 1,5 miliar yang ditemukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2011.  

Cak Imin juga punya alasan ideologis untuk memperkuat keinginannya. Sebagai kader NU, Muhaimin merasa ikut bertanggung jawab untuk menjaga MPR yang memiliki tugas menjaga empat pilar negara yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Namun Muhaimin tidak akan mudah mewujudkan ambisinya. Selain ketum MPR saat ini yang juga Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, tantangan juga datang dari Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Partai Nasdem.

Kemungkinan Muhaimin bisa dengan mudah "menyingkirkan" Zulkifli mengingat PAN bukan bagian dari partai pengusung Jokowi -- Ma'ruf Amin dan jumlah kursi di MPR juga jauh di bawah PKB. Demikian juga sodokan Partai Nasdem karena bisa dianggap kurang serius mengingat hanya mengajukan kadernya, bukan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh.

Tetapi tidak demikian halnya dengan Airlangga. Jika Muhaimin berdalih sudah pernah di kabinet, maka saat ini Airlangga justru masih menjadi bagian kabinet Jokowi - JK. "Menjual" NU juga kurang greget mengingat wakil presiden  mendatang berasal dari NU. Demikian juga untuk posisi Menteri Agama, dapat dipastikan dari NU sebagaimana Lukman Hakim Saifuddin.

Di sisi lain Airlangga dapat menggunakan isu keberagaman yang tentunya lebih bisa diterima kelompok nasionalis dan moderat. Posisi Airlangga semakin kuat karena Golkar memiliki jumlah kursi jauh di atas PKB yakni 85 : 58.

Jika tidak segera mendapat solusi, persaingan Muhaimi dan Airlangga bisa mengganggu soliditas koalisi pemerintah karena masing-masing akan mencari dukungan. Jika tidak dikelola dengan baik, bukan mustahil perpecahan itu memercik keluar dan disambar oposisi.

Terlebih Muhaimin tipe pemimpin yang tidak mengharamkan sikap frontal ketika keinginannya dihalangi. Belum lekang dari ingatan ketika Jokowi menolak Muhaimin sebagai cawapres. Padahal saat itu Muhaimin sudah mendapat dukungan dari ratusan kelompok masyarakat, mendirikan posko Jokowi -- Muhaimin atau JOIN serta mengkampanyekannya melalaui ratusan baliho.

Muhaimin pun menolak menyerah. Dengan dukungan PBNU dan PPP, Muhaimin lantas "memaksa" Jokowi mengganti cawapresnya, dari Mahfud MD menjadi Ma'ruf Amin. 

Hal serupa kemungkinan  akan dilakukan Muhaimin jika ambisinya menduduki kursi ketua MPR terganjal. Muhaimin akan bersikap frontal dengan memainkan isu dukungan atau bahkan mengancam bergabung dengan kubu oposisi. Meski mungkin tetap tidak bisa mengalahkan paket yang diajukan kubu pemerintah, tetapi dampaknya bisa merembet hingga keluar gedung parlemen.

Untuk menghindari hal itu, sedikitnya ada dua opsi yang dapat dipilih kubu pemerintah. Pertama, mengajukan paket pimpinan MPR dengan ketua Airlangga dan membarter ambisi Muhaimin dengan dengan menambah jumlah kursi PKB di kabinet, termasuk menteri koordinator.

Opsi ini paling realistis. Namun berpotensi mengubah konfigurasi kabinet Jokowi -- Ma'ruf. Jokowi kehilangan peluang untuk memperbanyak menyeimbangkan komposisi anggota kabinet karena partai-partai lain, terutama Nasdem dan PDIP, tentu juga akan meminta tambahan jatah menteri sehingga akhirnya kabinet didominasi kader partai, bukan kalangan profesional.

Kedua, mengambil calon netral yaklni dari DPD. Terlebih DPD memiliki jumlah anggota terbanyak di MPR yakni 136 kursi. Terlebih selama ini belum pernah ada anggota DPD yang menjadi ketua MPR.

Meski tidak ada jaminan suara DPD akan utuh mengingkat mereka tidak terikat komando sebagaimana anggota parlemen dari partai politik, tetapi sepanjang kubu pemerintah solid, kemenangan sudah dapat dipastikan karena hanya membutuhkan tambahan 8 suara DPD.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun