Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Serang Duit Kampanye Jokowi, BW Giring Opini

13 Juni 2019   11:21 Diperbarui: 19 Juni 2019   01:06 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bambang Widjojanto. Foto: KOMPAS.com/Abba Gabrillin

Tim hukum Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno kembali melemparkan materi gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 ke publik. Meski materi gugatan sebenarnya sudah menjadi milik publik setelah diupload di situs Mahkamah Konsitusi (MK), namun menjadi beda ketika dibeber langsung oleh tim hukumnya.

Terlebih ketika materi yang digaungkan sangat beragam dan tak terduga. Terbaru, Bambang Widjojanto (BW), Denny Indrayana dan anggota tim hukumnya, membeber sumbangan pribadi capres Joko Widodo. BW menyatakan dalam melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye Jokowi pada 25 April 2019 sebesar Rp 19,508,272. Padahal, dalam LHKPN yang dilaporkan pada 12 April 2019, kekayaan berupa kas Jokowi sebesar Rp 6 miliaran.

BW pun mempertanyakan apakah dalam waktu 13 hari, harta kekayaan Jokowi berupa Kas dan Setara Kas bertambah hingga sebesar Rp 13.399.037.326?

Ini bukan serangan pertama yang mengarahkan langsung ke pasangan calon (paslon) 01. Sebelumnya BW juga mempertanyakan status Ma'ruf Amin sebagai Dewan Penasehat di Bank Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Syariah. Tim Prabowo beranggapan kedua perusahaan tersebut merupakan BUMN sehingga posisi Ma'ruf melanggar UU Pemilu.

Jika dilihat dari beberapa materi yang sudah dibeber, BW dan anggota tim hukumnya tidak hanya fokus pada dugaan kecurangan penghitungan suara seperti umumnya materi gugatan sengketa pemilu, termasuk pilkada dan pilpres. BW sepertinya tengah berusaha meyakinkan publik jika ada pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Jika mampu membuktikan adanya kecurangan yang bersifat TSM, maka angka-angka yang telah ditetapkan KPU menjadi batal. Dengan demikian tim hukum Prabowo -- Sandiaga tidak perlu lagi membuktikan adanya kecurangan di ribuan TPS.

Mungkin ini sebabnya mengapa sejak awal Bambang sudah meminta agar MK tidak menjadi mahkamah kalkulator dalam arti hanya menghitung berapa banyak suara hasil pilpres yang bermasalah dan apakah jika suara itu ditambah-kurangkan kepada paslon bisa mengubah ketetapan KPU di mana Jokowi - Ma'ruf tampil sebagai pemenang Pilpres 2019.

Jika melihat manuver BW, bukan mustahil masih ada kejutan lain yang akan dibeber selama gelaran sidang di MK yang dijadwalkan mulai 14 Juni besok.

Terlepas kontroversinya, benar-tidaknya, kita berharap tim kuasa hukum Jokowi -- Ma'ruf Amin menjawabnya dengan berdasar fakta-fakta hukum. Kita percaya Yusril Ihza Mahaendra dan kawan-kawan sudah memiliki jawaban atas manuver BW dan kawan-kawan.        

Oleh karenanya sangat disayangkan jika sebagian anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi -- Ma'ruf justru terlihat mulai panik menghadapi manuver lawan. Salah satu buktinya adalah upaya mereka untuk mengalihkan opini yang dibangun lawan dengan "menyerang" pribadi BW dan Denny Indrayana.

Mempertanyakan status BW sebagai Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan status Denny Indrayana sebagai Aparatur Sipil Negara seperti dilakukan Ade Irfan Pulungan, Direktur Hukum dan Advokasi TKN dan juga tim hukum Jokowi -- Ma'ruf, sangat tidak elok. 

Di samping keduanya tentu sudah melakukan antisipasi terkait hal tersebut, Irfan Pulungan mungkin lupa dalam konteks ini yang perlu disoal adalah fakta-fakta hukum terkait kedua paslon dalam kontestasi pilpres, bukan "pembawa pesannya".

Para penggiat demokrasi dan hukum tentu ingin melihat pertarungan di ruang sidang MK yang jika melihat tim hukum kedua kubu, terutama BW dan Yusril, yang mungkin akan sangat menarik. Fakta-fakta hukum yang disuguhkan dapat menjadi pembelajaran, terlepas putusannya.  

Oleh karenanya kita berharap kedua kubu, terutama  tim hukumnya, tetap fokus pada materi gugatan dan fakta-fakta hukum. Jangan nodai proses hukum yang sudah menjadi ketentuan perundang-undangan, dikotori dengan hal-hal yang bersifat pribadi.    

Kita pun berharap tidak ada skenario di luar proses hukum.  Tidak ada tekanan dan pengerahan massa yang dapat mempengaruhi putusan hakim MK. Pendukung Prabowo harus benar-benar menjauhi gedung MK.

Mereka harus belajar dari kasus 21-22 Mei. Demo yang mereka lakukan sama sekali tidak sampai pada tujuan, tidak menghasilkan apa-apa karena suara yang disampaikan tertutup narasi kerusuhan.

Jika sampai di MK ada pengerahan massa dan kembali ada "tangan tak terlihat" yang mendesain kericuhan, maka bisa dipastikan esensi gugatan yang tergelar di ruang sidang menjadi senyap, kalah gema dibanding narasi kerusuhan.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun