Ada dua alasannya. Pertama, dunia telah menjadi desa besar di mana batas-batas negara sudah "hilang", terutama di dunia maya. Pemblokiran fitur tertentu, tidak efektif karena masih bisa diakses dengan jaringan dari luar negeri seperti virtual private network (VPN).
Masyarakat yang tadinya tidak paham akan hal itu, kini menjadi familiar karena didorong adanya kebutuhan untuk mengakses internet.
Kedua, keputusan pemblokiran akses ke sejumlah fitur medsos, ternyata berdampak pada penurunan kecepatan akses, bahkan gangguan pada layanan internet oleh Telkom sehingga merugikan pihak-pihak yang tidak memiliki kaitan dengan aksi-aksi tersebut. Belum dapat dipastikan apakah ada keterkaitan antara pemblokiran sejumlah fitur dengan kecepatan akses internet. Namun faktanya, penulis tidak bisa mengakses Facebook dengan Indihome.
Bahkan hingga tanggal 23 Mei, layanan Indihome putus-sambung. Tercatat dua kali petugas dari Telkom melakukan perbaikan jaringan Indihome milik penulis setelah sebelumnya melapor ke 147 dengan nomor laporan IN51736XXX.
Para perusuh tentu bersorak riang karena mampu menciptakan "teror" kepada masyarakat sebagai imbas keputusan pemblokiran fitur media sosial tertentu. Bahkan dengan bahasa lain, keputusan tersebut menelanjangi "ketidakmampuan" pemerintah dalam melawan pelaku teror, termasuk penyebar hoaks.
Salam @yb