Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa Narasi Pemindahan Ibu Kota Gagal Membumi?

9 Mei 2019   12:24 Diperbarui: 9 Mei 2019   13:01 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi meninjau lokasi calon Ibu Kota. Foto: KOMPAS.com/Antara

Presiden Joko Widodo tampak serius mempersiapkan rencana pemindahan Ibu Kota. Bukan lagi hanya dalam rapat, Jokowi bahkan sudah melakukan "touring" ke sejumlah daerah di Kalimantan untuk mendapatkan feeling daerah mana yang paling tepat. Tetapi mengapa respon masyarakat, setidaknya perbincangan di media sosial, kalah ramai dibanding isu lain?

Wacana pemindahan Ibu Kota disampaikan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas tanggal 29 April 2019, atau 12 hari setelah pencoblosan Pemilu dan Pilpres 2019. Jika melihat peserta rapat yang diundang termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Jawa Barta Uu Ruzhanul Ulum, selain Wakil Presiden Jusuf Kalla, Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Menteri Keuangan dan lain-lain, bisa dibilang rapat tersebut sangat penting dan urgen.

Jokowi kembali menyinggung rencana pemindahan Ibu Kota saat menggelar acara buka bersama pimpinan lembaga tinggi negara termasuk DPR dan MPR. Setelah itu Jokowi terbang ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Di Kelurahan Tumbang Talaken, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, Jokowi mengatakan dari sisi keluasan wilayah Gunung Mas paling siap untuk menjadi lokasi Ibu Kota baru menggantikan DKI Jakarta.
Namun keseriusan Presiden Jokowi mematangkan rencana pemindahan Ibu Kota masih kurang bergaung, kecuali hanya menjadi konsumsi pemberitaan media online. Wacana itu masih kalah gemanya dengan isu-isu terkait hasil Pilpres 2019. Mengapa demiikian?

Pertama, wacana pemindahan Ibu Kota merupakan isu lama. Wacana tersebut juga pernah dikemukakan Jokowi di tahun 2015 dan 2017. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di bawah kepemimpinan Andrinof Chaniago sudah sempat melakukan kajian mendalam. Bahkan pada tanggal 3 Juli 2017, Kepala Bappenas yang baru Bambang Brodjonegoro mengatakan mulai tahun 2018 atau 2019 sudah mulai ada kegiatan terkait dengan pemindahan pusat administrasi pemerintahan.

Jika saat ini Jokowi mengatakan akan melakukan kajian, maka hal itu berarti mundur dari rencana semula. Ataukah hasil kajian Bappenas tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan Presiden?

Kedua, pembahasan renacana pemindahan Ibu Kota yang dilakukan hanya 12 dari hari pencoblosan Pemilu 2019, dituding sejumlah pihak sebagai pengalihan isu mengingat tingginya suhu politik sebagai dampak pro-kontra hasil pemilu, khususnya pilpres, karena baik kubu Jokowi-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno saling klaim kemenangan. Proses rekapituasi di daerah juga masih berlangsung sebelum dilakukan rekapitusi manual di KPU Pusat dan hasilnya baru akan diputuskan tanggal 22 Mei 2019.

Ketiga, mungkin memang ada benarnya, wacana pemindahan Ibu Kota salah satunya dimaksudkan untuk memecah perhatian masyarakat. Hal semacam itu sudah lazim dalam rangka menurunkan suhu politik. Sayangnya, para pembantu Presiden justru sibuk dengan narasi baru yang tidak kalah heboh.

Contohnya, rencana Menko Polhukam Wiranto membentuk tim hukum nasional alias tim pemantau pencaci Presiden Jokwi yang memantau pikiran, ucapan dan tindakan tokoh tertentu. Wiranto bahkan  sempat mengancam akan menutup media yang menyiarkan provokasi dari tokoh tersebut, namun belakangan diluruskan bukan medianya melainkan akun media sosial yang mengunggah atau menyebarkan.

Rencana Wiranto pun menimbulkan kehebohan sehingga sempat "menutupi" berita Jokowi mengunjungi lokasi calon Ibu Kota.  
Ada juga pernyataan AM Hendropriyono yang mengaitkan sebagian keturunan Arab sebagai provokator people power. Meski tidak lagi berada di lingkar kekuasaaan, namun PKPI, partai yang pernah dipimpinnya, adalah pengusung Jokowi-Ma'ruf. Terlebih lagi, menantunya adalah KSAD Jenderal Andika Perkasa. Sulit untuk tidak menyebut mantan Kepala Badan Intelijen Negara itu sebagai bagian dari lingkar dalam  penguasa.

Kita berharap, pemindahan Ibu Kota tidak menjadi konsumsi politik yang hanya digunakan untuk kepentingan selain tujuannya. Pemindahan Ibu Kota bukan hal yang mustahil, tetapi juga bukan pekerjaan gampang yang dapat diselesaikan dengan satu-dua kali rapat di Istana.

Salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun