Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PDIP Tak Terbendung, ke Mana Suara Islam?

8 Januari 2019   09:53 Diperbarui: 28 April 2019   15:45 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo PDIP. Foto: KOMPAS.com

Stigma PDI Perjuangan sebagai partai anti-Islam dan diidentikkan dengan PKI, tidak membuatnya goyah. Hasil survei hampir seluruh lembaga menempatkan  elektabilitas partai moncong putih itu di urutan teratas, disusul Gerindra dengan margin sangat besar dibanding partai-partai berbasis Islam. Bahan PAN, PKS dan PBB diragukan bisa memenuhi ambang batas parlemen sebesar 4 persen.

Hasil survei terbaru yang dirilis Lembaga Riset Publik menyatakan, jika Pemilu digelar saat ini PDIP unggul dengan 31,2 persen suara disusul Partai Gerindra dengan 17 persen dan Golkar 7,2 persen. Jika elektabilitas PDIP didukung anggapan sebagai partai wong cilik, maka tingginya elektabilitas Partai Gerindra ditopang sosok sang ketum, Prabowo Subianto.

Hasil survei Riset Publik tidak berbeda jauh dengan hasil survei sejumlah lembaga yang digelar pada akhir tahun 2018. Baik Litbang Kompas. LSI Denny JA maupun SMRC menempatkan PDIP di urutan teratas. Litbang Kompas merilis elektabilitas PDI-P sebesar 29,9 persen, Gerindra 16 persen, PKB 6,3 persen, Partai Golkar 6,2 persen dan Partai Demokrat 4,8 persen.

Tidak ada satu pun partai berbasis Islam modernis yang muncul di 3 besar. Kondisi ini menjadi ironi karena stigma PDIP anti-Islam dan pendukung PKI  sudah lama didengungkan dan sempat membuat gerah petinggi partai. Bahkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekaranoputri mengaku sampai sekarang dirinya masih dilabeli PKI oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Hal itu terjadi karena, menurut Megawati, isu PKI masih efektif digunakan untuk mempengaruhi pemilih.

Menurut Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP Ahmad Basarah tuduhan tersebut sangat tidak mendasar. Sebab Bung Karno merupakan tokoh Muhammadiyah dan dekat dengan kalangan Nahdlatul Ulama (NU). PDIP juga memiliki organisasi sayap berbasis Islam yakni Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). PDIP, menurut Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat, memang bukan partai agama, karena PDIP partai nasionalis yang beragama.

Tanpa menafikan banyaknya hasil survei yang meleset dari kondisi riil hasil pencoblosan sebagaimana terjadi di sejumlah pilkada lalu, kedikdayaan PDIPmenjadi warning serius bagi pihak-pihak yang suka jualan isu agama dan PKI karena hasilnya tidak sedasyat yang diangankan, atau tidak seseram yang teruar di media-media sosial. Mungkin ada pengaruhnya, seperti dikatakan Megawati, tetapi fakta menunjukkan PDIP keluar sebagai pemenang Pemilu 2014 dan Jokowi memenangi Pilgub DKI Jakarta 2012 serta Pilpres 2014 di tengah deraan isu anti-Islam dan PKI.

Mengapa bisa demikian? Kemungkinan ada dua penyebabnya. Pertama, isu anti-Islam dan PKI justru menjadi  alat perekat kaum nasionalis untuk melakukan "perlawanan balik". Artinya, semakin kuat isu agama dan PKI diterpakan, semakin solid dukungan kelompok nasionalis dan sekular yang selama ini menjadi basis PDIP.

Kedua,  citra Islam sendiri yang sempat terpuruk karena dikaitkan dengan "horor" Timur Tengah dan maraknya aksi bom bunuh diri di tanah air. Ghirah keagamaan yang muncul belum menjadi "kebutuhan" menyeluruh  umat Islam sehingga mereka- di luar warga Nahdlatul Ulama (NU), lebih sreg menyalurkan aspirasi politiknya kepada partai nasionalis yakni PDIP dan Gerindra serta  moderat seperti Golkar dan Demokrat.  Perolehan suara PDIP di Pemilu 2014 lebih tinggi dibanding gabungan suara yang diraih PAN, PKS dan PBB.

Partai-partai medioker berbasis agama, khususnya Islam modernis,  baik yang berada di kubu Jokowi maupun Prabowo harus lebih kreatif membangun isu agar tidak gagal ke parlemen, apalagi menjadi bagian dari partai dengan perolehan nol koma alias parnoko. Mereka harus berani meninggalkan  isu-isu agama yang "keras" dan mulai membangun narasi yang lebih membumi seperti kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan lain-lain.

Sisa 3 builan masa kampanye masih cukup untuk mengubah kondisi, terutama menjaring kelompok milenial dan swing voters yang jumlahnya cukup besar.  Kelompok ini cenderung rasional dalam memilih partai politik. Tidak lagi didasarkan pada kesamaan identitas, melainkan janji kampanye yang bisa dinalar dan dibuktikan.

Salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun