Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kejar Rekening Koruptor di Swiss? Lelucon Politik yang Terlambat

17 Desember 2018   08:52 Diperbarui: 17 Desember 2018   19:24 2298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo. Foto: KOMPAS.com/Ihsanuddin

Komitmen Presiden Joko Widodo terhadap pemberantasan korupsi layak diapresiasi. Tetapi memburu rekening ke Swiss, Singapura atau negara lain yang selama ini ditengarai sebagai tempat menyimpan uang hasil kejahatan, hanya lelucon politik.

Pernyataan Jokowi yang akan memburu koruptor hingga ke luar negeri, khususnya Swiss, disampaikan ketika memberi sambutan pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang digelar KPK. Jokowi menyebut beberapa langkah nyata yang sudah dilakukan pemerintah. Salah satunya perjanjian timbal balik/mutual legal assistance (MLA) antara Indonesia-Swiss.

Saat masih menjabat Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah merilis sedikitnya ada 84 WNI memiliki rekening di bank Swiss yang digunakan untuk menampung uang hasil kejahatan. Jumlahnya cukup fantastis, mencapai sekitar US$ 195 miliar, lebih besar dari APBN 2018 yang diproyeksi sebesar Rp 2.204,4 triliun.

Namun jumlah tersebut diperkirakan sudah berkurang dratis pasca program tax amnesty 2016 dan 2017 lalu. Uang dari luar negeri yang masuk (reptriasi) selama program berjalan mencapai Rp 147 triliun, sedang yang dideklarasikan sebesar 1.031 triliun, jauh di bawah harta yang dideklarasikan di dalam negeri yang mencapai Rp 3.676 triliun. Nah, angka Rp 1.031 triliun tersebut kemungkinan termasuk dana yang selama ini diparkir di Swiss, Singapura, Hong Kong dan lain-lain.

Artinya, setelah dideklarasikan dalam program tax amnesty, dana tersebut sudah "bersih", tidak bisa lagi diganggu-gugat kecuali kelak tidak membayar pajak sesuai ketentuan perundang-undangan. Padahal status uang atau pemiliknya yang memungkinkan otoritas tertentu, bisa meminta informasi bahkan membuka rekening yang dicurigai. 

Di samping kejahatan korupsi, ada banyak jenis pendapatan ilegal yang dapat dikategorikan sebagai hasil kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga dapat digunakan sebagai dasar "mengalahkan" aturan kerahasiaan perbankkan.

Dengan demikian, jika pun parlemen Swiss menyetujui perjanjian timbal balik informasi rekening perbankkan, uang yang dikejar sudah tidak ada. Jika pun masih ada yang tidak diikutkan dalam program tax amnesty, kemungkinan sudah dipindah ke negara surga pajak lainnya, atau "dititipkan" kepada perusahaan semacam Mossack Fonseca di Panama yang bisa menyamarkan kepemilikannya melalui perusahan-perusahan cangkang (shell corporation).

Padahal jalan menuju berakhirnya era kerahasiaan perbankkan masih sangat panjang. Penandatanganan joint declaration yang lebih spesifik dibanding MLA karena sudah masuk ke teknis, hanya syarat dalam rangka implementasi pertukaran data keuangan untuk kepentingan perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) yang akan dijadikan bahan pertimbangan oleh parlemen Swiss untuk menyetujui atau menolak.

Bukan hanya Swiss, Singapura pun memberlakukan hal yang tidak kalah rumit. Meski negara kecil di seberang Sumatera itu sudah mengadopsi AEoI, namun tidak serta merta mau mengumbar data rekening di negaranya. Bahkan harus ada perjanjian bilateral dengan landasan AEoI. 

Artinya, jika Indonesia ingin meminta informasi data rekening WNI yang ada di bank-bank Singapura, maka terlebih dahulu dibuat perjanjian bilateral, sebagaimana joint declaration dengan Swiss. Sampai saat ini perjanjian pertukaran informasi rekening antara Indonesia-Singapura belum juga terwujud.

Mari kita berbaik sangka, Swiss sudah menerima kesepakatan tersebut dan mulai 2019 akan dilakukan pertukaran informasi rekening kedua warga negara, tetapi itu hanya  yang terkait perpajakkan. Ingat, terkait perpajakan, bukan kejahatan lain. Sebab untuk menentukan kejahatan lain semisal korupsi, harus ada putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun