Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Anies Baswedan?

6 Desember 2018   12:29 Diperbarui: 6 Desember 2018   13:30 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kontestasi demokrasi acapkali menawarkan beragam kejutan. Racikan strategi, lobi kawan maupun lawan, hingga tebar isu untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) dalam rangka mencapai tujuan politik yang diinginkan, sangat menarik diikuti. Ibarat membaca novel suspense, di mana kita ikut larut dan merasakan ketegangan, ketakutan, kepedihan hingga kegembiraan tokoh-tokoh di dalamnya.

Ketika mengikuti pemberitaan perihal upaya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menjadi calon wakil presiden (cawapres),  kita mendapat banyak pengetahuan tentang politik.

Dimulai dengan pembentukan organisasi sayap PKB, terutama Gerbang Tani dan Nelayan, Cak Imin- begitu sapaan akrabnya, memulai petualangan politiknya yang kemudian memberikan warna tersendiri, bahkan sempat mendominasi arus utama pemberitaan seputar Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019.

Cak Imin tidak hanya menggunakan kekuatan PKB dan kebesaran Nahdlatul Ulama (NU), namun organisasi massa sebagai "kendaraan lain" menuju Istana. Wakil Ketua MPR ini sukses mengusung isu pelarangan cantrang yang dikumandangkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebagai alat tawar politik. Presiden Joko Widodo sempat beberapa kali dibuat "kesal" terkait isu ini, yang berarti "buah keberhasilan" skenario Cak Imin.

Jika akhirnya Cak Imin gagal mendapatkan kursi cawapres, tentu bukan semata karena salah strategi. Ada faktor lain yang turut andil, terutama terkait penetapan ambang batas presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional hasil Pemilu 2014 sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Ada juga Anggota Dewan Pengarah BPIP Prof Mahfud MD yang memberikan contoh bagaimana menyikapi realitas politik yang berubah dratis dalam hitungan menit. Meski sempat "dipermalu", karena namanya digusur dari posisi bakal cawapres petahana Jokowi, namun mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menyikapinya secara elegan. Usai menumpahkan kronologi proses penunjukkan hingga "pembatalan" seraya menyentil pihak-pihak yang melakukan penjegalan, Mahfud dengan tegas mengatakan tidak tergoda untuk balas-dendam. Sebuah keteladan yang luar biasa.

Lalu mengapa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang dijadikan titik pusat dalam buku berjudul "Keteguhan Hati Anies" ini? Jujur, penulis tidak memiliki kedekatan secara emosional. Sebagaimana analisa politik yanag selama ini dipublikasikan di sejumlah blog platform, terutama Kompasiana dan YouTube, penulis hanya mengamati pola pergerakan dan manuver politik yang "diciptakan" Anies.

Tentu kita tidak bisa mengambil kesimpulan politik atau sikap politik seorang politisi hanya berdasarkan statemen pribadi, pemberitaan media atau manuver lawannya. Dalam berbagai peristiwa, sikap politik seseorang atau kelompok (partai), seringkali justru berbeda dengan yang diopinikan sebelumnya. Bahkan sangat mungkin bertolak-belakang. Manuver para ketua umum partai medioker dalam setahun terakhir sebelum penetapan capres dan cawapres, bisa dijadikan sebagai contoh.

Pada saat Anies Baswedan menyatakan dirinya hanya makmum sementara imamnya adalah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri, publik tidak serta-merta mengamininya. Terlebih hasil survei sangat menggoda di mana elektabilitas Anies cukup meyakinkan baik diposisikan sebagai capres, terlebih cawapres. Satu lagi keunggulan yang tidak dimiliki pesaingnya, Anies Baswedan cocok untuk menjadi cawapres petahana Jokowi maupun sang penantang, Prabowo Subianto.

Godaan kian menghanyutkan ketika upaya untuk membentuk poros alternatif mengemuka. Anies menjadi pilihan utama dan dianggap bisa menjadi jangkar kepentingan seluruh partai poros alternatif baik gabungan Demokrat, PAN dan PKB maupun PKB, PAN dan PKS. Bahkan Anies berada di daftar pertama andai Prabowo memutuskan untuk tidak ikut kontestasi Pilpres 2019.

Dukungan yang disuarakan berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi politik, kemahasiswaan dan pemuda juga tidak kalah banyak dibanding yang diterima calon-calon lain. Kehadiran puluhan perwakilan masyarakat dari berbagai daerah, termasuk tokoh-tokoh politik baik ke kantor maupun rumah, menjadi bukti sahih adanya aspirasi yang menginginkan Anies maju sebagai capres maupun cawapres.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun