Namun ada alasan lain yang bisa dijadikan pintu masuk untuk memahami langkah Yusril dan kemungkinan besar PBB secara kepartaian. Â
Yusril menyebut dukungannya kepada Jokowi-Ma'ruf didasarkan pada sikap profesionalitasnya sebagai lawyer. Status probono alias gratisan menjadi penegas klaim tersebut.Â
Artinya Yusril tidak semata mengejar materi melainkan didorong sikap profesionalnya yang ingin Pilpres 2019 berjalan secara fair, jujur dan adil serta memastikan semua pihak menaati aturan hukum yang berlaku. Yusril pun memastikan dirinya tidak masuk sebagai tim sukses petahana.
Kedua, Yusril tidak membawa partai yang dipimpinannya. Meski masih ada kemungkinan PBB akhirnya merapat ke kubu Istana, namun pernyataan kader senior MS Kaban, bisa menjadi rujukan jika partai pemilik 1,46 persen suara di Pemilu 2014 tersebut akan tetap berada di kubu Prabowo.
Dari dua hal itu, kemungkinan ada aroma balas-dendam bisa ditepis. Yusril sebagaimana juga dikatakan Kaban, memiliki hak untuk menjalankan profesinya secara profesional tanpa batasan atau sekat politik. Â
Lalu bagaimana dengan kekecewaan yang sempat dilontarkan sebelumnya? Tetap belum bisa dijadikan dasar penilaian adanya balas-dendam karena lontaran berbeda dengan pihak yang didukung, bukan barang haram. Bahkan PKS yang sudah menjadi  partai pengusung masih suka mengutak-atik dukungannya sebagai bagian dari bargaining politik.Â
Bukankah kita boleh memaknai serangan Yusril terhadap kubu Prabowo sebagai upaya menaikkan posisi tawar? Bahwa kubu Prabowo tidak merespon, itu soal berbeda.
Tetapi menyebut langkah Yusril murni sikap profesionalitas, juga terlalu gegabah karena menafikan tanggungjawabnya sebagai ketua partai untuk membawa PBB ke Senayan. Kita justru lebih meyakini sikap Yusril didasari keinginan untuk mendongkrak suara PBB di Pemilu 2019.
 Selama mengikuti Pemilu, PBB hanya bisa menempatkan wakilnya di Senayan sebelum adanya ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yakni pada Pemilu 1999 dan 2004 di mana PBB meraih suara 2 persen dan 2,6 persen.
Di Pemilu 2009, PBB gagal menempatkan kadernya di DPR karena hanya memperoleh 1,7 persen, jauh di bawah ambang batas parlemen yang ditetapkan sebesar 2,5 persen. Naiknya parliamentary threshold di Pemilu 2014 menjadi sebesar 3,5 persen kian memperpuruk PBB yang hanya mendapat 1,46 persen.
Meski meyakini akan berjaya di Pemilu 2019, namun Yusril tentu paham jika tidak ada terobosan signifikan, perolehan suara PBB sangat mungkin tidak bisa melewati angka 3 persen, padahal ambang batas yang ditetapkan sebesar 4 persen.